Vanessa

Sabtu 06-11-2021,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

Harian Disway - PENGGEMAR kuliner di Surabaya, Sidoarjo, dan sekitarnya mungkin pernah mendengar nama ”Warung Tengah Sawah” yang sering disebut sebagai WTS. Sesuai dengan namanya, warung itu terletak di wilayah persawahan di Kecamatan Jabon, Sidoarjo. Ada hampran sawah luas di sekitar warung, ada empang kecil, dan para petani penggarap sawah masih terlihat lalu lalang.

Bagi sebagian orang, penyebutan WTS mungkin membuat risi. Tapi, bagi para pemburu kuliner, nama itu justru menjadi daya tarik yang membawa sensasi tersendiri. Mungkin sama dengan Rawon Setan di Surabaya yang banyak membuat orang penasaran karena namanya. Dalam dunia marketing, nama yang unik menjadi publikasi yang menguntungkan.

Bagi generasi milenial, penyebutan WTS pasti tidak berkonotasi apa-apa. Bagi generasi kolonial yang hidup di era 1980-an, penyebutan WTS bisa jadi berkonotasi negatif atau bahkan mungkin tabu. Bahkan, kalau generasi milenial diberi tahu bahwa kepanjangan WTS adalah ”wanita tunasusila”, mereka belum tentu punya konotasi negatif.

Zaman sudah berubah, istilah WTS sudah lama terkubur. Dulu wanita yang menjajakan diri dengan imbalan uang disebut pelacur. Sebutan itu dianggap kasar, lalu diperhalus menjadi ”wanita tunasusila” yang disingkat WTS.

Zaman berubah lagi. Gerakan feminisme makin banyak bermunculan. Makin banyak aktivis yang menyuarakan isu-isu kesetaraan gender. Penyebutan WTS dianggap merendahkan perempuan. Para penjaja seks itu pun diangkat derajatnya sama sejajar dengan pekerja lainnya. Mereka disebut sebagai ”pekerja seks komersial” alias PSK.

Karena sekarang musim digital. Ada ekonomi digital, jual beli melalui internet tanpa harus ada transaksi tatap muka. Barang dan layanan bisa dibeli dan dipesan secara online. Kalau harga dan barang cocok, pesanan bisa diantar melalui delivery service, dan transaksi pembayaran bisa dilakukan via transfer atau COD (cash in delivery), bayar ketika barang datang.

Bisnis layanan seksual juga tidak mau ketinggalan memakai layanan digital. Meski di sana sini kompleks pelacuran ditutup, transaksi seks tidak berarti hilang. Sebaliknya, transaksi seksual juga ikut beremigrasi ke dunia digital, lalu bisnis pelacuran digital pun tumbuh pesat di mana-mana.

Publik di Jawa Timur masih ingat pada Januari 2019 Polda Jawa Timur membongkar jaringan prostitusi online dan menangkap para pelakunya. Ada pelaku yang tertangkap ketika sedang melayani kencan di kamar hotel, ada pelaku yang ditangkap ketika sedang menuju hotel.

Salah seorang selebritas yang tertangkap ketika itu adalah Vanessa Angel. Penangkapannyi menjadi drama, kemudian pengadilannya pun menjadi drama. Kisah hidup pribadi Vanessa Angel terekspos ke publik. Kisah mengenai hubungan pribadinyi dengan ayahnyi menjadi konsumsi publik. Bukannya menjadi pesakitan, Vanessa malah menjadi selebritas yang moncer.

Vanessa diadili dan divonis tiga bulan plus denda Rp 10 juta. Selepas dari penjara, Vanessa menjalani hidup normal, menikah, punya suami yang baik, melahirkan bayi yang sehat. Semuanya diekspos media dan dikonsumsi publik dengan penuh minat.

Di tengah episode itu, Vanessa dan suaminyi berurusan dengan polisi lagi. Kali ini mereka ditangkap karena penyalahgunaan narkoba. Berita itu viral dan tetap menjadi publisitas gratis bagi Vanessa.

Hidup begitu singkat dan berputar dengan cepat seperti drama Korea yang penuh air mata. Vanessa Angel tewas kecelakaan bersama suaminyi di Jombang, Jawa Timur (4/11). Jenazah Vanessa dan suaminyi dibawa ke RS Bhayangkara Polda Jatim di Surabaya. Di Polda Jatim itu pulalah Vanessa menjadi viral karena kasus prostitusi online. Di tempat itu pula jenazah Vanessa diidentifikasi sebelum dikirim untuk dikebumikan di Jakarta.

Para selebritas yang dulu berebut menjadi bintang televisi sekarang mendandani dirinya sendiri untuk tampil di kanal Youtube yang dikelolanya sendiri. Makin banyak jumlah pelanggan akan makin besar pundi-pundi uang yang diraup.

Seseorang bisa juga cuat-cuit dengan kalimat yang diatur sesuai dengan algoritma, untuk mendapat pengikut yang besar di Twitter. Cuitan apa pun yang keluar akan diamini, dianggap sebagai kebenaran oleh followers yang setia.

Para pakar dan akademisi yang punya kompetensi dan ekspertis sekarang kalah oleh para influencer, pemengaruh, yang mempunyai jutaan pengikut di Twitter. Para profesor yang berpuluh tahun menempuh karier akademik yang rumit tidak akan didengar pendapatnya, sementara para pemengaruh yang tidak punya ekspertis apa pun didengar dengan penuh tawaduk oleh para pengikutnya yang fanatik.

Tags :
Kategori :

Terkait