Vanessa

Sabtu 06-11-2021,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

Para pakar itu telah dinyatakan mati oleh Tom Nichols dalam The Death of Expertise karena munculnya budaya digital. Para pakar yang mengajar di universitas dan sekolah kian kehilangan pengikut karena sudah diambil alih oleh berbagai aplikasi.

Para kiai tradisional yang selama ini mengajar mengaji dengan sistem tradisional sorogan kalah bersaing dengan para ustad youtuber yang punya santri puluhan juta, yang menyebar di seluruh dunia. Para ulama yang dulu menjadi tumpuan tempat umat bertanya, sekarang sudah tergeser oleh ”ulama Google”’ yang menjadi jujukan publik untuk bertanya mengenai masalah-masalah keagamaan dan berbagai jenis fatwa.

Para kiai dan ulama di pesantren tetap hidup prihatin dan sederhana, sementara para ustad youtuber bisa menjadi kaya raya dengan penghasilan mencapai nol 12 digit, miliaran rupiah, dari kebaikan hati ”pesantren Youtube”.

Publik kian religius, tapi bersamaan dengan itu, akses untuk melakukan maksiat juga makin terbuka. Nilai-nilai moral publik pun makin longgar dan makin permisif. Sesuatu yang dulu dianggap tabu sekarang menjadi biasa. Seseorang yang melakukan pelanggaran sosial bisa diisolasi warga. Sekarang para pelanggar susila malah menjadi selebritas yang dipuja.

Di kalangan masyarakat tradisional, pelanggaran susila seperti zina akan dihukum dengan mengarak dua pelaku keliling kampung. Pelakunya akan diisolasi dan dikucilkan. Di dunia digital yang luas tanpa batas, pelaku asusila tidak bisa diisolasi secara digital. Bukannya terisolasi, para pelakunya masih tetap bisa berkiprah secara bebas dan menjadi selebritas.

Dunia sudah berubah, nilai moral makin longgar. Para ahli public relation mengatakan, ”All publicity is good publicity”, publisitas apa pun akan tetap menjadi publisitas yang baik. Negatif maupun positif, seseorang akan banyak dikenal karena publisitas.

Beda antara terkenal dan tercemar menjadi sangat tipis. Masyarakat pun kian tidak peduli. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait