Mendalami Budaya Tionghoa

Selasa 09-11-2021,11:45 WIB
Editor : Heti Palestina Yunani

Menjadi duta budaya berarti harus memahami apa yang diwakili. Menyadari akan hal itu, para semifinalis Koko Cici Jawa Timur 2021 menjalani sesi pembekalan daring. Topik tadi malam adalah tentang pengetahuan budaya Tionghoa.

Kegiatan pembekalan itu dilaksanakan selama satu jam mulai pukul 19.00 WIB. Semua semifinalis turut hadir di sana. Materi disampaikan oleh Steven Tanuwijaya Tjhin (Chen Fu Guang), BEc, M.Ikom.

Ia lulusan Anhui University, Hefei, Tiongkok. Ia juga akan wisuda S2 dari London School of Public Relation Jakarta dalam waktu dekat. Steven sekaligus seorang Koko Jakarta 2017 dan Koko Indonesia 2018.

Pengalamannya mendalami kultur Tionghoa sudah tidak diragukan lagi. Apalagi ia sudah menjalani masa studi di sana. Hal pertama yang dijelaskan secara umum adalah perbedaan sebutan ’Cina’ dan ‘Tionghoa’.

Kata Steven, istilah pertama sudah mulai ditinggalkan karena sempat digunakan Jepang pada masa peperangan. Konotasinya pun negatif. ”Momentumnya ketika mantan presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,” katanya.

”Beliaulah yang menghapus istilah ‘Cina’ untuk menyebut etnis keturunan Tiongkok. Kemudian dibarengi dengan pembuatan ajang Koko Cici yang diinisiasi oleh gubernur DKI Jakarta saat itu,” lanjutnya.

Mundur lebih jauh, etnis Tionghoa di Indonesia datang dari para pedagang dari Kerajaan TIongkok ratusan tahun lalu. Steven kembali menjabarkan bahwa tempat yang pertama kali dikunjungi adalah Palembang ketika masa Kerajaan Sriwijaya.

Para peserta saat pembekalan daring. Mereka saling berbagi kebiasaan dan mengenal budaya dalam keluarga masing-masing. Ternyata meskipun perayaan harinya sama, tapi biasanya ada beberapa kebiasaan sendiri yang khas dari setiap keluarga. (Ajib Syahrian Nor/Harian Disway)

Mereka kemudian menyebar terutama di Pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah. Kemudian menetap di daerah pesisir pantai utara Jawa. Seperti Tuban, Gresik, Surabaya, Banten, dan Jakarta. Sebagian lagi kemudian meninggali area Kalimantan.

Para pedagang tersebut berasal dari berbagai suku di negaranya. Mulai dari Hokkian, Hakka, Kanton, Tiochiu, dan Hai Nan. Semuanya memiliki asal wilayah dan ciri pengucapan berbeda satu sama lain.

Semuanya dilanjutkan keturunannya sampai sekarang. ”Mereka sebetulnya tidak hanya di Indonesia. Kita bisa menemukannya di Hong Kong, Singapura, Taiwan, Malaysia, dan lain sebagainya,” sebut Steven.

Ia kemudian mengajak para semifinalis untuk berinteraksi. Masing-masing diminta secara bergantian menceritakan budaya dan kebiasaan dalam keluarga. Alhasil, diskusi pun berjalan dengan seru. Para semifinalis mengungkapkan kegiatan untuk melestarikan kultur Tionghoa.

Ada beberapa perayaan yang biasanya dilaksanakan keluarga Tionghoa di Indonesia. Mulai dari Hari Raya Bakcang atau yang disebut dengan Peh Cun. Kegiatannya selain makan kue bakcang, juga perlombaan perahu naga (Quyuan).

Bakcang sendiri memiliki makna tersendiri berdasar pada bentuknya yang persegi. Antara lain Zhi zu (merasa cukup), Gan en (bersyukur), Shan jie (berpikir positif), dan Bao rong (merangkul sesama).

”Setiap perayaan Imlek, nenek dan orang tua saya biasanya melepas hewan. Seperti ikan, burung, dan lain sebagainya. Kemudian ada makan-makan serta berkumpul dengan sanak lainnya. Keluarga saya mayoritas di Jombang jadi masih ada perpaduan dengan budaya Jawa,” kata Wiliam Christopher sebagai salah satu semifinalis yang berpartisipasi.

Tags :
Kategori :

Terkait