Ia telah menemukan jalan. Ia telah mampu keluar dari krisis. Juga, telah berhasil menjadikan timnya solid. Tim yang dulunya bersama-sama ketika ia masih menjadi birokrat di Pemkot Surabaya.
Ia punya modal dasar basis birokrasi yang kuat untuk melesat. Tinggal membiasakan mereka kembali untuk berani berinovasi. Berani mengambil langkah-langkah tak biasa tanpa harus menyalahi aturan. Bersama menyangga gagasan-gagasan besar wali kotanya.
Pengalaman saya ketika menjadi sesuatu dulu, SDM di Pemkot Surabaya sudah istimewa. Apalagi generasinya wali kota sekarang. Sayang, satu dekade terakhir mereka tak punya ruang untuk itu. Mereka harus menyesuaikan dengan top leader yang punya gaya penyanyi solo.
Diperlukan waktu untuk mengembalikannya. Mengembalikan mental kreatif dan inovatif. Tidak sekadar menunggu perintah wali kotanya.
Saya lebih optimistis dengan Wali Kota Eri Cahyadi. Mengapa? Ia telah terbukti mampu mengonsolidasikan kekuatan Kota Surabaya untuk mengatasi krisis. Bukan dengan cara sebelumnya. Tapi, dengan gaya kepemimpinan yang terbuka.
Ia tampak berusaha menerapkan model pemerintahan yang menggerakkan. Bukan pemerintah yang mengatasi segalanya. Bukan pemerintahan yang seakan mereka bisa membawa kemajuan dengan sumber daya terbatas yang dimilikinya.
Meski Surabaya memiliki kemampuan fiskal terbesar di Jatim, itu belum cukup untuk membuat sesuatu yang luar biasa. Tahun 2022, APBD Surabaya sudah disahkan sebesar Rp 10,3 triliun. Bojonegoro yang menjadi penghasil minyak hanya Rp 7 triliun.
Namun, APBD sebesar itu tidak sampai 2 persen dari PDRB Surabaya sebesar Rp 554,51 triliun pada 2020. Itu sangat kecil untuk mengungkit pertumbuhan ekonomi Surabaya yang sudah sangat besar. Karena itu, satu-satunya jalan adalah membuka diri dengan sektor swasta.
Dengan kemampuan fiskal yang demikian, mau tidak mau pemerintah kota tidak bisa berjalan sendiri untuk mendongkrak kemajuan kotanya. Ia harus bergandeng tangan dengan kekuatan-kekuatan masyarakat agar menghasilkan berbagai lompatan kemajuan kota.
Gaya kepemimpinan yang tepat bukan lagi gaya penyanyi solo. Akan lebih menjanjikan jika memimpin Surabaya dengan gaya orkestra. Wali kota sebagai dirigennya, sedangkan kekuatan masyarakat sebagai pemain musik dengan segala alat musiknya.
Dengan demikian, pemerintahan yang perlu dibangun adalah pemerintahan yang menggerakkan. Bukan pemerintahan yang mengatur segalanya. Pemerintahan yang mampu mengorganisasikan dan mendistribusikan peran semua kelompok masyarakat menjadi kekuatan bersama.
Karekter masyarakat Surabaya yang terbuka dan egaliter sangat cocok dengan kepemimpinan yang terbuka. Mereka akan mempunyai kebanggaan jika disapa para pemimpinnya. Apalagi jika dirangkul untuk berbuat kebaikan bersama. Heroisme akan bangkit kembali asal ada yang memimpinnya.
Gerakan rakyat dalam melawan tentara sekutu yang menggagalkan upaya penjajahan kembali adalah contohnya. Peristiwa 10 November 1945 yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan bukan sekadar peristiwa sejarah biasa. Ia merupakan peristiwa yang menunjukkan jati diri warga kota ini.
Eri Cahyadi telah teruji mampu menjadi dirigen pemerintahan yang menggerakkan saat mengatasi tsunami pandemi tahun ini. Tampaknya ia juga bisa diharapkan bisa melakukan berbagai terobosan memajukan Surabaya dengan gaya kepemimpinannya yang lebih merangkul ini. (*)