Edy Firmansyah, mengulik Madura dari tragedi kesejarahan sejak zaman kolonial. Ia merangkumnya lewat cerpen.
Berawal sejak pandemi 2020. Saat itu Edy dituntut untuk bekerja di rumah atau work from home. Edy punya banyak waktu luang. ”Saya mulai berpikir untuk mengisinya. Caranya dengan menulis. Sebab sudah cukup lama saya tidak menulis,” ungkapnya.
Edy lantas memilih menulis membuat cerpen. Sedapat mungkin mengambil tema unik atau yang jarang disentuh oleh penulis-penulis lain. Tak jauh-jauh, ia menengok Pulau Madura sebagai tanah kelahirannya.
Demi mengembangkan Edy, ia mulai mengunjungi lokasi-lokasi bersejarah di Madura. Bahkan banyak bertanya dan menggali referensi tentangnya.
”Dalam pencarian itu saya tertarik dengan tema tentang peristiwa atau tragedi bersejarah di Madura. Utamanya ketika masa penjajahan Belanda, Jepang hingga perang kemerdekaan.
Ia meninjau lokasi Masjid Jamik Pamekasan. Di halaman tempat itu, dahulu adalah sebuah kuburan massal. ”Ketika agresi militer Belanda kedua pada 1947, mereka membuat markas yang berada tepat di Masjid Jamik,” ujarnya.
Hal itu tentu memicu amarah warga. Berbondong-bondong rakyat berdatangan ke tempat itu dan menamakan kelompok mereka sebagai Laskar Madura. ”Pertempuran pecah di sana. Para pejuang dengan senjata seadanya, diberondong senapan mesin oleh tentara Belanda,” ujar penulis 40 tahun itu.
Akibatnya, banyak jenazah pejuang bergelimpangan di halaman Masjid Jamik. Halaman itu pun digunakan sebagai kuburan massal. Itu menjadi salah satu temuan yang menginspirasi Edy untuk membuat cerita pendek.
Terdapat beberapa cerpennya tentang pembantaian Belanda di Masjid Jamik. Dua di antaranya berjudul Magasin Terakhir Sang Penembak dan Vanisee Mertruida dari Zoutlanden.
Ia memang ingin menulis sejarah lewat kisah fiksi dalam bentuk cerpen. Tujuannya, agar masyarakat dapat belajar sejarah dengan lebih mudah. ”Meski kisah fiksi tak dapat jadi sumber sejarah. Tapi keberadaannya tetap mencerminkan semangat zaman, terutama bagi mereka yang ingin mengulik kejadian-kejadian masa lalu,” ujarnya.
Dari risetnya tentang sejarah berbagai tempat di Madura, ia berhasil menulis beberapa cerpen dan coba menyodorkannya pada beberapa surat kabar. ”Alhamdulillah banyak yang lolos dan dimuat,” ungkap alumnus Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Sosial Politik, Universitas Jember tersebut.
Mengingat cerpen-cerpennya yang dapat dibilang layak dan memuat tema khas, Edy berinisiatif untuk menerbitkan kumpulan cerpen. Ia mencoba berselancar di internet. Mencari penerbit yang setidaknya memiliki minat terhadap karya-karya fiksi sejarah. ”Ketemulah Penerbit Cantrik Pustaka,” katanya.
Sekitar dua puluh cerpen yang ditulisnya sejak 2020 hingga awal 2021. Termasuk yang pernah dimuat dalam surat kabar. Setelah dikiriman, penerbit yang berkantor di Yogyakarta itu tertarik dengan cerpen-cerpen Edy. ”Editor penerbit meminat saya menambah enam sampai tujuh cerpen lagi. Saya pun menulis lagi. Sekitar bulan Juni, semua cerpen tambahan telah rampung,” ujar ayah tiga anak itu.
Tepat pada peringatan Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2021, buku kumpulan cerpen setebal 132 halaman karya Edy dirilis. Judul buku Yasima ingin jadi Juru Masak Nippon sekaligus menjadi cerpen pertamanya. Berkisah tentang Jugun Ianfu pada masa pendudukan Jepang. (Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas)