Sarjana pendidikan membeludak. Yang mendapat gelar SPd pada 2020 mencapai 335.190 orang. Angkanya setara 21,84 persen dari lulusan semua jurusan. Banyak yang tidak bisa jadi guru karena minim lowongan.
“SEMUA orang tiba-tiba ingin jadi guru pada 2005,” kenang Direktur Vokasi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Martadi kemarin (24/11). Ia masih ingat bagaimana guru jadi pekerjaan primadona kala itu.
Pemerintah menetapkan guru sebagai salah satu profesi melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kesejahteraan guru melambung gara-gara aturan itu.
Muncul tambahan penghasilan melalui tunjangan profesi guru (TPG). Saat melihat tingginya minat jadi guru, kampus berlomba-lomba mencetak sarjana pendidikan.
Muncul prodi, bahkan kampus baru untuk mewadahi minat itu. Mereka tumbuh seperti rumput di musim penghujan. Pemerintah yang tidak memberlakukan pembatasan saat itu, kini menghadapi masalah besar.
Masalah semakin terasa saat pemerintah memberlakukan moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2015. Lowongan jadi guru makin seret. Namun, Martadi merasakan masalah oversupply sarjana pendidikan memuncak pada 2018. “Jumlah sekolah cenderung tidak bertambah. Lowongan cuma nunggu ada guru yang pensiun,” ujar mantan Ketua Dewan Pendidikan Surabaya itu.
Moratorium harus diberlakukan. Penerimaan sarjana pendidikan atau pembukaan prodi baru pendidikan harus dibatasi.
Namun, masalahnya tidak sesimpel itu. Ada banyak dosen yang terancam kehilangan pekerjaan jika moratorium diberlakukan.
Martadi menawarkan solusi lain. Sarjana pendidikan harus disebar ke luar Jawa. Kebutuhan guru di sana masih tinggi. “Di Nusa tenggara itu ada SD yang gurunya cuma tiga atau dua orang saja,” ujar dosen seni rupa Unesa itu.
Padahal prodi pendidikan guru sekolah dasar (PGSD) termasuk yang paling besar. Jika mereka disebar ke luar daerah, maka ada dua problem yang terselesaikan.
Perlu campur tangan pemerintah agar mereka tertarik mengajar di luar Jawa. Pernah ada program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T).
Mereka yang mau berangkat ke luar Jawa akan mendapat subsidi Pendidikan Profesi Guru (PPG). Banyak yang berminat ikut program itu. “Tapi setelah pulang untuk menempuh PPG, mereka tidak mau balik ke pelosok,” jelasnya.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Surabaya Agnes Warsiati juga merasakan keresahan yang sama. Sarjana pendidikan tidak hanya bersaing dengan internal mereka. Pesaing bertambah banyak karena guru tidak harus SPd. “Yang bukan sarjana pendidikan tinggal mengurus akta empat. Langsung resmi jadi guru,” kata mantan Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya itu.
Sekolah yang bekerja sama dengan luar negeri juga lebih leluasa. Mereka bahkan tidak harus mengambil guru dari Indonesia. Misalnya Sekolah Ciputra maupun beberapa sekolah yang memiliki kurikulum khusus Internasional.
Agnes mengatakan, ada lowongan untuk mengajar di Paud Terpadu. Yang lokasinya ada di beberapa RW. Lulusan sarjana pendidikan bisa belajar di sana. Namun gajinya hanya Rp 500 ribu. Setelah melihat gaji itu, banyak yang angkat tangan.