Kenapa Ibnu Sina Dituding Sesat dan Kafir?

Jumat 03-12-2021,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

Misalnya, tanah yang kita pijak ini awalnya dari bebatuan yang melapuk. Sejak dari zaman planet Bumi ini masih muda. Miliaran tahun yang lalu. Sedangkan Bumi berasal dari matahari yang terbentuk saat terjadi tata surya.

Dan matahari berasal dari gugusan bintang. Yang terbentuk dari gas hidrogen yang bereaksi fusi menjadi helium. Di mana gas hidrogen terbentuk dari partikel-partikel sub-atomik, dari quark, dari partikel-partikel kuantum. Dan seterusnya, sampai pada cikal bakal alam semesta yang paling awal. Saat kemunculannya kali pertama.

Di awal eksistensi alam semesta itulah Tuhan berada. Sebagai Penyebab Pertama. Causa Prima. Yang memunculkan alias menciptakan jagat raya dengan segala isinya. Mengikuti proses sebab-akibat. Dalam ruang dan waktu. Berupa materi dan energi. Yang dikendalikan sistem informasi: sunatullah.

Maka, bagi Ibnu Sina, segala yang ada di jagat raya ini sesungguhnya adalah ”akibat” dari adanya ”penyebab”. Sebab, yang ”ada” tidak mungkin muncul dari yang“”tidak ada”. Pastilah muncul dan disebabkan oleh yang ”ada” pula.

”Ketiadaan” tidak akan pernah memunculkan ”keberadaan”. Sebab, sesuatu yang ”tidak ada”, selamanya ya akan tetap ”tidak ada”.

Jadi, Anda bisa melihat perbedaan antara pemikiran Al-Ghazali yang tekstual, mistis, serta sufistik dan pemikiran Ibnu Sina yang kontekstual, analitis, dan empiris. Saintifik.

Sesungguhnya, keduanya sama-sama hendak menjelaskan eksistensi Tuhan. Tetapi, dengan cara yang berbeda. Sehingga memberikan perspektif yang berbeda pula.

Sebagai manusia dengan segala keterbatasan, sesungguhnyalah setiap kesimpulan kita terhadap eksistensi-Nya bakal menghasilkan perspektif yang berbeda.

Ibarat ada tujuh orang buta yang mencoba memahami gajah dengan cara meraba. Ada yang mengatakan bentuk gajah seperti ular piton, karena ia memegang belalainya.

Ada yang mengatakan gajah seperti cambuk, karena ia memegang ekornya. Ada pula yang mengatakan gajah seperti kipas, atau batang pohon, atau luas seperti dinding, karena mereka ada yang memegang telinga, kaki, dan badannya. Walhasil, setiap orang hanya memahami sebagian saja dari wujud gajah itu.

Demikian pula pemahaman kita tentang realitas sejati. Keterbatasan pemahaman kitalah yang menyebabkan kita tidak akan pernah bisa memahami eksistensi Allah yang sesungguhnya. Persis dengan yang difirmankan di dalam kitab suci: Laisa kamitslihi syai’un wa huwas sami’ul bashir.

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Asy-Syura: 11)

Wallahu a’lam bissawab. (*)

 

*) Agus Mustofa, alumnus Teknik Nuklir UGM, penulis buku-buku tasawuf modern, dan founder kajian Islam futuristik.

Tags :
Kategori :

Terkait