IBNU Sina adalah sosok yang unik dan kontroversial.
Di satu sisi, ia dihormati dan dikagumi sebagian umat Islam. Namanya diabadikan untuk nama sekolah, universitas, rumah sakit, dan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan.
Tetapi, dalam waktu yang bersamaan, ia juga dituding sesat dan kafir oleh sebagian yang lain.
Apakah yang menjadi masalah?
Ternyata, adalah pandangannya yang sangat rasional terhadap teologi Islam. Khususnya, yang terkait dengan eksistensi Tuhan, alam semesta, jiwa, dan ruh. Sehingga bertabrakan dengan ulama-ulama yang berpemikiran mistis dan sufistik. Misalnya, Al-Ghazali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dan Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Sebagai contoh, pandangannya tentang eksistensi Tuhan. Yang dikritik oleh Al-Ghazali dalam buku Tahafut Al-Falasifah. Alias, Kerancuan Filsafat.
Istilah filsafat di zaman itu bermakna ilmu-ilmu yang berbasis pada logika, rasionalitas, dan empirisme. Misalnya, matematika, fisika, kimia, biologi kedokteran, dan astronomi. Alias, sains.
Dalam pandangan Al-Ghazali dan ulama-ulama yang sepemikiran dengannya, suatu eksistensi bisa disebut Tuhan jika memenuhi dogma Sifat-20. Yang jika tidak terpenuhi salah satunya, eksistensi itu tidak pantas disebut sebagai Tuhan.
Kedua puluh sifat itu adalah: wujud (ada), qidam (paling awal), baqa’ (abadi), mukhalafatu lil hawadits (tidak sama dengan makhluk), qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri), wahdaniyah (esa), qudrat (berkuasa), iradat (berkehendak), ilmun (mengetahui), hayyat (hidup), sama’ (mendengar), bashar (melihat), kalam (berbicara).
Selain itu, bersifat qadiran (senantiasa berkuasa), muridan (senantiasa berkehendak), aliman (senantiasa berilmu), hayyan (senantiasa hidup), sami’an (senantiasa mendengar), bashiran (senantiasa melihat), dan mutakaliman (senantiasa berbicara).
Penetapan dogma berupa Sifat-20 itu ditetapkan berdasar sumber Al-Qur’an secara tekstual. Dan, logika ilmu kalam. Alias filsafat teologi Islam. Berdasar pemikiran internal di dalam jiwanya sendiri.
Itu berbeda dengan pandangan Ibnu Sina. Yang membangun kesimpulan berdasar pada pemikiran rasional dan empiris. Yakni, dengan mengamati realitas alam sekitarnya. Bukan sekadar dialektika pemikiran internal.
Bagi Ibnu Sina, Tuhan adalah ”Sang Penyebab Utama” bagi eksistensi alam semesta. Disebut juga Causa Prima. Sebab, dalam pandangan sains, segala yang ada ini adalah hasil dari proses sebab-akibat.
Seorang manusia ada, disebabkan oleh keberadaan bapak-ibunya. Demikian pula, bapak-ibunya ada disebabkan oleh bapak-ibunya lagi. Kemudian, disebabkan oleh para orang tua di generasi-generasi sebelumnya. Dan seterusnya, sampai pada penyebab pertama. Yang menjadi sebab bagi adanya manusia.
Begitu pula benda-benda pengisi jagat raya. Segala benda di sekitar kita ini ada asal-usulnya. Ada penyebab yang menjadikannya ada.