Tak Perlu Risau Harga Minyak Goreng Tinggi

Senin 06-12-2021,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

HARGA minyak goreng yang tinggi menjadi obrolan sehari-hari para ibu rumah tangga.  Harga minyak goreng sawit kemasan berada di kisaran Rp 19.000–Rp 23.000 per kilogram. Harga itu lebih tinggi daripada harga pada awal tahun 2021 di kisaran Rp 13.000–Rp 15.000 per kilogram. Haruskah pemerintah dan masyarakat risau dengan kenaikan harga minyak goreng itu?

Konsumsi Minyak Goreng

Sejatinya, minyak goreng bukanlah kebutuhan pokok bagi masyarakat. Sebab, konsumsi minyak goreng bisa digantikan. Digantikan sebagai bahan dalam mengolah masakan, dari menggoreng menjadi cara yang lain. Misalnya, dengan merebus, memasak gulai atau kare, juga bisa juga dengan dibakar dan dipanggang.

Namun, sudah menjadi kebiasaan yang sangat lama  pada sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa tidak mengonsumsi makanan yang digoreng berasa ada yang kurang. Makanan yang digoreng adalah menu sajian umum pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Karena itu, kenaikan produk minyak goreng menjadi isu yang ramai diperbincangkan.

Sebagian besar produk minyak goreng yang beredar di Indonesia adalah berbahan baku minyak sawit. Meski tidak 100 persen, tetapi angkanya pasti di atas 90 persen. Wajar, karena Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar dunia dengan total produksi minyak sawit mencapai 52 juta ton tahun lalu, sebanyak 47 juta ton di antaranya adalah minyak sawit mentah beserta olahannya. Sisanya, 5 juta ton, berbentuk minyak inti sawit dan olahannya. Sebagian besar, atau sekitar 34 juta ton, dari total produksi minyak sawit tersebut terserap di pasar ekspor.

Selain berbahan baku minyak sawit, banyak juga minyak goreng yang menggunakan bahan baku minyak nabati lain seperti minyak kelapa, kedelai, rapeseed, zaitun, jagung, dan bunga matahari. Minyak goreng nonsawit itu juga beredar di pasar Indonesia. Namun, karena harga yang jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan minyak sawit, pengaruh terhadap rasa yang lebih nikmat dan gurih jika digoreng dengan minyak sawit, dan alasan kesehatan karena minyak sawit lebih sehat, minyak nabati impor tersebut kurang diminati.

Karena kebiasaan konsumsi masyarakat itulah, minyak goreng sawit menjadi salah satu produk konsumsi yang ikut memengaruhi laju inflasi. Meskipun, pengaruhnya tidak terlalu signifikan terhadap laju inflasi nasional. Berdasar data BPS (Badan Pusat Statistik), pada pekan kedua November 2021, indeks harga konsumen mengalami inflasi 0,25 persen secara bulanan (month-to-month).

Tiga komoditas utama penyumbang inflasi November tersebut adalah telur ayam ras, yaitu 0,06 persen; minyak goreng 0,05 persen; dan cabai merah yang menyumbang inflasi 0,04 persen. Meskipun inflasi year-to-date November tahun ini berpotensi naik menjadi 1,18 persen, laju inflasi nasional masih sangat terkendali.

Harga CPO Tinggi

Mengapa harga minyak goreng terus naik sepanjang tahun 2021? Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa harga minyak goreng itu naik karena tingginya harga CPO di pasar internasional. ”Ini karena harga minyak sawit mentah juga meningkat. Belum lagi, ada permintaan yang mendadak atas produk CPO di pasar dunia,” kata Airlangga saat jumpa pers Ministerial Meeting Ke-9 CPOPC (Council of Palm Oil Producing Countries) di Jakarta Sabtu (4/12).

Pernyataan Menko Perekonomian tersebut benar. Secara rata-rata, harga CPO di pasar dunia sepanjang tahun 2021 berada pada level di atas USD 1.000 per ton. Bahkan, pernah menyentuh harga tertinggi dalam sejarah industri minyak sawit, yaitu USD 1.420 per ton (CIF Rotterdam) pada 20 Oktober 2021. Kenaikan harga CPO di pasar internasional akan memengaruhi harga CPO di pasar domestik dan pada akhirnya berpengaruh terhadap produk berbahan baku minyak sawit seperti minyak goreng.

Mengapa harga CPO sangat tinggi? Di tengah produksi minyak nabati global, termasuk minyak sawit yang masih belum sepenuhnya normal karena pengaruh pandemi Covid-19 dan cuaca, permintaan akan produk minyak nabati terus naik. Untuk produk minyak sawit Indonesia, selain permintaan pasar ekspor yang meningkat terutama pada destinasi utama seperti  Republik Rakyat Tiongkok (RRT), India, Uni Eropa, dan Pakistan.

Sementara itu, untuk daya serap pasar dalam negeri, dari total konsumsi domestik tahun 2020 sebesar 17,34 juta ton, sebagian besar yaitu 8,4 juta ton (49 persen) terserap di sektor pangan. Sisanya, 7,26 juta ton (42 persen) untuk sektor biodiesel dan 1,69 juta ton (9 persen) di sektor oleokemikal. Melihat dari struktur tersebut, sebagian besar konsumsi domestik minyak sawit adalah bahan pangan dan program mandatori biodiesel B30.  Karena itu, fluktuasi  harga CPO di pasar dunia akan berpengaruh secara tidak langsung terhadap harga bahan pangan berbahan baku sawit seperti minyak goreng.

Harga CPO yang tinggi adalah berkah bagi Indonesia. Bukan hanya bagi pelaku usaha di sektor kelapa sawit, tetapi juga bagi pemerintah dan petani kelapa sawit yang menguasai 43 persen dari total 16,3 juta hektare perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Bagi pemerintah, berkah harga CPO tidak hanya datang dari devisa ekspor yang hingga akhir tahun 2021 diperkirakan menembus USD 30 miliar. Pemerintah juga menerima berkah sawit dari berbagai pendapatan pajak seperti pajak ekspor, pajak penghasilan, dan pajak pertambahan nilai.

Tags :
Kategori :

Terkait