Clarence Finley, finalis Koko Cici Jawa Timur 2021, membuat ulasan singkat mengenai Kelenteng Boen Bio. Tak sekadar tempat ibadah, bangunan ini menyimpan sejarah di dalamnya.
Cagar budaya sekaligus tempat peribadatan umat Tri Darma (Tao, Budha, dan Konghucu) yang terletak di Jalan Kapasan nomor 131.
”Kelenteng Boen Bio merupakan salah satu kelenteng tertua di Surabaya. Dibangun pada tahun 1883 dengan nama Boen Tjhiang Soe atau Weng Chan Szu. Letak bangunannya dulu bukan di tempat yang sekarang,” kata Clarence.
Pendirian dilakukan atas inisiatif tokoh masyarakat Tionghoa Go Tik Lie dan Lo Toeng Siong. Mereka kemudian berunding dengan Mayor The Boen Ke pada 1882. Rencana itu mengemuka karena pada akhir abad 19, di daerah Kapasan belum ada tempat ibadah untuk orang Tionghoa seperti yang ada di daerah Pecinan lain.
Arsitektur kelenteng turut mengambil ciri khas agama Konghucu murni. Dapat dilihat dengan adanya beragam ornamen ukiran di pilar-pilar dan dinding yang menggambarkan naga. Selain itu, terdapat pula sebuah tanjakan licin yang diapit oleh dua ekor naga. Tanjakan ini disebut dengan ’jalan suci’. Serta ada banyak sekali ornamen-ornamen khas Tionghoa yang melambangkan doa-doa dalam Konghucu.
Setelah 20 tahun berdiri, pengurus merasa posisinya kurang representatif. Letaknya terlalu menjorok ke dalam dari jalan raya. Dari sana muncullah inisiatif lanjutan memindah bangunan inti jadi lebih dekat dengan akses jalan. Sehingga memudahkan masyarakat dan umat untuk berkunjung.
Demi menambah data, Clarence kemudian berbincang dengan Liem Tiong Yang selaku pengurus. Lewat beliau, pemuda 24 tahun itu mendapatkan informasi tentang fungsi Kelenteng Boen Bio selain tempat ibadah. Yaitu saksi sejarah perjuangan masyarakat Tiong Hoa pada era kolonialisme.
Biaya pembangunan selama ini diperoleh dari denda yang dibayar pemerintah Belanda. Dikeluarkan atas putusan pengadilan yang memenangkan konflik monopoli ekonomi antara pemerintah Belanda dengan pedagang Tionghoa di Surabaya saat itu.
”Saat itu, diceritakan ekonomi Surabaya sempat lumpuh karena pedagang Tionghoa menggelar aksi protes dengan mogok berjualan,” lanjut dia.
Sejak berdiri sampai saat ini, kelenteng seluas 1.000 meter persegi itu tetap berdiri kokoh. Masih menjadi tempat peribadatan warga Tionghoa di Surabaya Utara, bagian kota yang terkenal sebagai sentra aktivitas ekonomi warga Tionghoa sejak lama. Sebelum kemudian era globalisasi memperluas cakupan sampai hampir di semua kawasan Kota Pahlawan.