SEKARANG ini Kampung Lali Gadget (KLG) mengundang banyak pujian. Mereka dianggap punya komitmen kuat dalam menanggulangi kecanduan gadget pada anak. Padahal, apa yang dilalui Achmad Irfandi selama merintis KLG tidak semudah yang dibayangkan.
Irfan mengawali niat dari keresahan pribadi. Setelah melihat banyaknya anak-anak yang ngumpul di warung kopi mencari wifi. Ia beranggapan kebiasaan itu dapat memberikan dampak buruk pada tumbuh kembang. Dikhawatirkan pula, bisa mengganggu perkembangan motorik.
"Saya teringat dulu ada tanggapan sinis untuk nama ’Kampung Lali Gadget’. Bagi mereka, main game itu tindakan positif serta bikin bahagia. Sarana pelepas penat. Kok sekarang dianggap memberikan dampak negatif dan disuruh ’melupakan’,” cerita Irfan.
Pandangan itu datang rata-rata dari anak-anak dan remaja di kawasan sekitar KLG. Irfan melihat di situlah gap antara mereka yang tinggal di kawasan perdesaan dan perkotaan.
Irfan sudah merasakan keresahan dampak negatif gadget sejak lama. Perasaan itu makin meningkat saat ia kuliah di Universitas Negeri Surabaya. Selama masa pendidikan itu, pria 27 tahun tersebut beberapa kali bertemu dengan orang yang beranggapan sama. Terlebih, isu kesehatan mental telah masuk perhatian.
Sayang, itu belum sepenuhnya dipahami mereka di luar kawasan perkotaan. Hal tersebut masih terabaikan. Sesuatu yang bikin bahagia berarti bagus. Tanpa mengetahui dampak yang sebetulnya mengintai di belakang.
"Sebetulnya ini cuma beda frekuensi. Anak-anak desa sudah biasa dengan kegiatan yang dilaksanakan KLG. Masuk ke sawah, main lumpur, naik egrang, dan lainnya. Ini sudah lazim buat anak-anak sini. Sementara kalau buat anak-anak di kota yang sudah biasa dengan gadget, aktivitas ini jadi sesuatu yang baru bagi mereka," sambung Irfan.
Miskomunikasi dengan Perangkat Desa
Pemerintah Desa Wonoayu dan Irfan sempat mengalami miskomunikasi. Waktu itu Irfan sempat curhat pada ibunya. Mengeluh mengapa pemdes belum mendukung serta berkontribusi untuk acara positif di dalam KLG.
Omongan tersebut ternyata menyebar. Layaknya gosip, obrolan jadi bertambah hingga membuat maknanya bergeser. Sampai akhirnya ke perangkat desa. Namun, kalimat ”sambat” dari Irfan jadi bergeser.
"Mereka menganggap pemdes itu sudah tua dan tidak bekerja dengan baik. Padahal, maksudnya kan bukan seperti itu. Nggak tahu mengapa bisa berubah. Akhirnya saya dipanggil ke kantor desa untuk memberikan klarifikasi," ceritanya.
Ia lalu menjelaskan bahwa bukan seperti itu konteksnya. Ditemukan pula fakta bahwa perangkat desa sendirilah yang beranggapan demikian. Alhasil, Irfan menegaskan bahwa mereka sendiri yang memaknai. Padahal, maksudnya bukan begitu.
Polemik tersebut memang terjadi secara internal. Waktu itu KLG belum sebesar sekarang. Terlebih, setelah pemerintah desa mendukung penuh.
Irfan juga merefleksikan masalah pada diri sendiri. Ia belajar untuk lebih terbuka tentang kegiatannya. Mencoba memahami birokrasi yang ada. Juga, membuat agar segala pihak turut merasakan dampak positif dari KLG.