Malah, isu sempat bergeser dengan adanya informasi bahwa KLG mengajak komunitas gereja untuk bermain di sana. Mereka juga memberikan donasi sejumlah peralatan yang dibutuhkan.
”Saya kemudian menjelaskan bahwa KLG bisa jadi sarana pemersatu bangsa. Jadi, KLG dibuat tanpa memandang dari mana mereka berasal, suku apa, agamanya apa. Asumsi tersebut akhirnya bisa jadi inspirasi bagi kami untuk menyusun program KLG berbasis Pancasila. Saya dan kawan-kawan panitia menyusun sejumlah kegiatan demi mengenalkan seperti apa dasar negara itu dalam bentuk yang menyenangkan,” tambahnya.
Momen pelik lain terjadi pada pertengahan 2019. Saat KLG sudah membuat kegiatan cukup besar dan ternyata berbarengan dengan pemilihan aparatur desa. Pihak keamanan mengimbau agar acaranya dibatalkan demi menjaga stabilitas lingkungan setempat. Namun, Irfan tetap kukuh pada pendirian untuk menyelenggarakan program yang pengumumannya sudah tersebar luas.
Akhirnya, dibantu pihak kepolisian, panitia KLG memutuskan untuk memindahkan venue ke lapangan milik desa sebelah dua hari sebelum penyelenggaraan. Itu dianggap sebagai solusi terbaik bagi kedua pihak yang sama-sama mau bikin gawe.
Dinamika tersebut memang memberikan banyak sekali tantangan. Menguras pikiran dan bikin semua jadi terasa rumit. Akan tetapi, para pegiat KLG tetap berpikir positif. Itu juga sebagai bentuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Mereka pun sadar bahwa kedatangan para peserta memberikan dampak pada warga, baik berskala kecil maupun besar. Semua pengalaman tersebut memberikan pelajaran berharga bagi perkembangan KLG secara utuh. (Ajib Syahrian Nor)
Dulu ke warkop cari wifi, sekarang ke KLG cari buku. Baca edisi besok