SUDAH sepekan ini harga cabai rawit melambung. Kenaikannya bahkan lebih tajam ketimbang harga minyak goreng yang dikeluhkan ibu-ibu dapur.
”Yang ini Rp 45 ribu,” kata pedagang cabai M. Rokhib sambil menunjuk tumpukan cabai yang belum terjual. Masih sisa 7 kuintal. Sudah tiga hari cabai itu belum habis. Sudah banyak yang busuk. Ia harus membuang cabai busuk itu satu per satu agar tidak menyebar.
Ia terpaksa mengobral cabainya. Jika besok tidak habis, harga cabai itu makin hancur. Bahkan, bisa tidak ada nilainya.
Semua pedagang cabai masih kesulitan untuk mendapat pasokan barang dari Probolinggo dan Banyuwangi. Petani cabai gagal panen. Curah hujan terlalu tinggi. Sinar matahari juga sangat kurang karena sering mendung.
Kalau ada cabai baru dengan kondisi segar, pedagang menjualnya dengan harga Rp 55 ribu. Harga itu sudah paling murah di Surabaya. Sebab, Pasar Keputran adalah pasar induk yang jadi jujukan pedagang pasar lain.
Harga cabai di pasar lain rata-rata mencapai Rp 60 ribu. Rokhib tidak tahu sampai kapan kondisi bertahan seperti itu. ”Udane gak mari-mari (Hujan tidak kunjung usai, Red),” ujarnya.
Monica punya problem yang sama. Cabai di lapaknyi bahkan lebih rusak. Sudah banyak yang busuk. Dia menjualnya dengan harga Rp 42 ribu.
Ia sudah memesan satu karung cabai. Namun, sore itu barang belum datang. ”Kalau datang, ya saya jual Rp 55 ribu,” ujarnyi.
Kepala Dinas Perdagangan Wiwik Widayati mengatakan, kenaikan harga cabai berlaku hampir di semua daerah. Itu sudah menjadi siklus tahunan. Saat curah hujan tinggi, cabai sulit didapat. ”Kami adakan operasi pasar sampai 23 Desember,” katanyi.
Disdag mengunjungi kantor kecamatan setiap pukul 09.00. Warga bisa mendapatkan cabai dengan harga Rp 4.500 per ons serta bawang putih Rp 12.500 per setengah kilogram dan bawang merah Rp 8.000 per setengah kilogram.
Minyak goreng yang masih di kisaran Rp 20 ribu dijual dengan harga Rp 17.500 per liter. Dia berharap kondisi bisa lebih stabil mendekati Natal dan tahun baru. (Salman Muhiddin)
bit.ly/3Eb2Rhk