Laporan itu segera memunculkan dugaan bahwa Semeru akan meletus. Azis meneruskannya ke beberapa tokoh desa. Juga membincangkannya dengan warga. Ia juga mengatakan getaran banjir lahar berkisar 20-25 milimeter beberapa hari belakangan.
Namun, indikasi itu tak diacuhkan. Semeru dianggap beraktivitas biasa saja. Karena, kata Azis, volume getaran seperti itu juga sudah biasa. “Kalau kata orang sini, istilahnya, Semeru lagi ngisi pasir,” ungkapnya.
Tak dinyana, gunung tertinggi di Jawa itu ternyata meletus. Satu jam sebelumnya memang terjadi guguran lahar. Namun, tidak terlihat karena tertutup kabut. Yang menjadikan parah, guguran awan panas mengarah ke Besuk Kobokan alias kawasan Gladak Perak.
“Karena biasanya tidak mengarah ke sini. Kalau sudah begini ya sudah cuma bisa ngelus dada,” kata Azis sambil mengelus dadanya dengan mata yang sayu.
Bupati Lumajang Thoriqul Haq menyatakan hal serupa. Bahwa Semeru tak meletus sebagaimana pemahaman umum. Semeru setiap waktu selalu mengeluarkan lava. Dan itu menjadi pemandangan sehari-hari masyarakat sekitar.
“Percikan api Semeru itu sering terjadi setiap Jumat malam,” katanya. Namun, yang terjadi saat Sabtu sore (4/12) berbeda. Hujan turun begitu deras. Mengakibatkan guguran awan panas yang di atas kawah Semeru turun dengan sangat dahsyat.
Sebetulnya, Pusat Vulkannologi dan Mitigasi Bencana (PVMG) di pos Gunung Sawur sudah menginformasikan ke masyarakat. Bahwa guguran awan panas sudah muncul. Masyarakat siaga, tapi tetap beraktivitas seperti biasa. “Tapi ternyata volume lahar yang turun begitu cepat dan dahsyat hingga mengguyur permukiman,” terangnya. (*)