“Gara-gara ada IKD, Risky selalu tanya kapan hari Minggu,” kata Sumarti, orang tua Rizky Gusti Preyambodo, sambil memandangi anaknya yang sibuk melukis. Ia tidak ikut menari di panggung. Remaja 18 tahun yang menyandang ADHD itu lebih suka dengan cat dan kanvas. Rizky sudah pernah ikut pendampingan di tempat lain, namun perkembangannya sedikit.
Di IKD, Rizky lebih percaya diri untuk berbaur dengan teman-teman sesama difabel. Lukisannya bahkan sudah laku empat.
Satu karya dijual dengan harga Rp 300 hingga Rp 350 ribu. Meski nilainya tidak seberapa, Rizky akhirnya punya semangat untuk terus melukis. Apresiasi dari pembeli lukisannya mendorong rasa percaya dirinya.
Sumarti bersyukur mengenal Andy dan guru pendamping IKD. Mereka mengeluarkan tenaga dan waktunya tanpa berharap imbalan. “Walaupun kayak preman, hatinya seperti malaikat,” ucap perempuan 61 tahun itu.
Peluncuran Kartu Surabaya Inklusi di Grand City Mall.(Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)
Sementara itu, Surabaya juga mulai mewujudkan lingkungan yang lebih inklusif. Itu bisa dilihat dari banyak komunitas yang aktif berdedikasi melakukan pendampingan. Seluruhnya tergabung dalam Solidaritas Disabilitas Mandiri Surabaya (Solitaris).
Salah satunya, Yayasan Pendidikan Rumah Kartika (YPRK) yang mendirikan Kedaibilitas Surabaya. Baru saja meluncurkan Kartu Surabaya Inklusi (KSI), Senin (13/12). “Pada launching ini kami bagikan 1.000 KSI untuk mereka,” kata Founder Kedaibilitas Surabaya Andi Fuad Rachmadi. (Salman Muhiddin/Mohammad Nur Khotib)