Jiwa seni lukis yang mengalir di darah ayahnya tidak menurun ke Zidane. Ia tidak tertarik pada pelajaran menari dan musik. “Senang nari memang. Kalau di rumah ia ikut kelompok shalawatan,” kata pria yang juga bekerja sebagai ojek online itu.
Zidane punya ketertarikan ke musik. Namun, bocah kelahiran 28 November 2011 itu belum mau belajar alat musik piano atau alat lain yang bernada. “Sukanya rebana. Saya arahkan ke sana,” lanjut pria yang tinggal di Jalan Gresik itu.
Ia mengenal IKD dari jaringan orang tua anak difable. Istrinya, Maria Ulfa diajak bergabung ke IKD oleh ibu-ibu lainnya. Katanya, di tempat itu anak-anak difabel bisa berkreasi dan bersosialisasi dengan teman-teman yang punya bakat berbeda dengan yang lain
Ketelatenan Agus Setiawan (kanan) saat membimbing salah satu muridnya di Istana Karya Difabel (IKD).(Foto: RIZAL HANAFI-HARIAN DISWAY)
Di tempat itu Agus mengenal Andy Elektrik: pendiri IKD. Sama seperti yang lain, ia melihat sosok Andy bak seorang preman. Pakaiannya serba hitam. Rambutnya gondrong. Namun ia melihat ketulusan hati Andy untuk merawat anak-anak berkebutuhan khusus.
Akhirnya Agus menguatkan niatnya untuk ikut membantu gerakan sosial Andy. Ia ikut bergabung menjadi guru lukis bersama tiga mentor lainnya. Tanpa bayaran.
Mentor lukis mendapat uang apabila ada lukisan yang laku. Pembagiannya 70:30. Mentor kebagian 30 persen. Namun jika uangnya tidak seberapa, seluruh uangnya diberikan seluruhnya ke sang anak.
Harga lukisan bervariasi. Lukisan abstrak kecil dihargai paling murah Rp 100 ribu. Lukisan pemandangan bisa dihargai mulai Rp 300 ribu sampai Rp 2,5 juta. Tergantung detail lukisan dan besarnya.
Namun Agus tidak menggantungkan pendapatan dari penghasilan itu. Ia cuma berniat ikut membantu anak-anak lain untuk menumbuhkan semangat hidupnya. Ia percaya setiap benih kebaikan pasti akan berbuah kebaikan. (Salman Muhiddin)