Sudah 32 murid yang bergabung ke Istana Karya Difabel (IKD) Surabaya. Mereka menjalani terapi seni tanpa dipungut biaya. Tim guru juga ikhlas tidak digaji.
RIBUAN kilo jalan yang kau tempuh. Lewati Rintang untuk aku anakmu. Ibuku sayang masih terus berjalan. Walau tapak kaki. Penuh darah. Penuh nanah.
Lagu Iwan Fals berjudul Ibu itu terdengar syahdu di Sentra Wisata Kuliner Arif Rahman Hakim (SWK ARH) Minggu (5/12). Matahari sudah hampir terbenam sore itu, pukul 17.00. Personel Bank IKD yang sebagian besar adalah penyandang tunanetra tampak begitu menjiwai setiap lirik lagu balada itu.
Di kursi samping panggung, Sumarti sangat menikmati pertunjukan itu. Dia mendengarkan musik sambil memandangi putra semata wayang yang sedang fokus melukis. “Hari ini diajari menggambar gunung sama Pak Agus,” ujar perempuan 61 tahun tersebut.
Rizky Gusti Priyambodo, sang anak, belum lancar berkomunikasi di usianya yang ke-18. Ia penyandang autisme yang lebih banyak di rumah. Beberapa bulan terakhir, semangatnya mulai tumbuh. IKD memberinya wadah berkreasi. Dalam sekali pertemuan ia bisa menghasilkan satu lukisan.
Tangannya bergerak perlahan menyapu kuas ke kanvas. Di atas penyangga lukisannya terpajang foto pemandangan yang jadi contoh.
Setelah lukisannya sudah mulai berbentuk, Agus Setiawan menghampirinya. Dipandanginya lukisan itu dengan seksama. “Mantap. Sekarang ganti biru untuk sungai,” ucap Agus sambil menunjuk tatakan cat minyak yang ada di samping Rizky.
Agus melihat Rizki berkembang pesat. Awalnya ia hanya diajari lukisan abstrak. Inilah lukisan paling mudah untuk pemula. Keindahannya lukisan bisa muncul hanya dengan menggerakkan kuas secara acak.
Setelah mahir menggunakan kuas dan cat, ia mulai diajari menggambar bunga. Kali ini ia menekankan permainan warna dan bentuk.
Setelah mahir, pelajarannya naik level. Rizky sudah mulai menggambar pemandangan dengan banyak elemen. Mulai gunung, pohon, sawah, petani, nelayan, pantai, burung, matahari, awan, hingga sungai.
“Di rumah masih melukis, Bu?” tanya Agus ke Sumatri. Melukis harus rutin. Tidak boleh hanya satu pekan sekali. Anak-anak berkebutuhan khusus itu perlu pembiasaan ekstra agar bakatnya bisa diarahkan.
“ Ngelukis terus ini, Pak,” sahut Sumatri. Sejak bergabung dengan IKD, Sumatri harus banyak belanja kanvas, cat, kuas dan peralatan melukis lainnya.
Rizky ketagihan melukis. Kalau tidak dihentikan ibunya, ia bisa melukis seharian. Kata Sumatri, anak-anak autis memang memiliki energi ekstra.
Agus tersenyum mendengar jawaban itu. Dukungan orang tua adalah hal terpenting dalam perkembangan anak berkebutuhan khusus (ABK).
“Aku ngerti banget cara menghadapi anak-anak begini. Wong aku juga wali murid di sini,” ujarnya sambil menunjuk ke meja di depan panggung. Muhammad Zain Zidane duduk di sana sambil menonton teman-temannya yang sedang berjoget.
Zidane juga memiliki persoalan yang sama dengan Rizky. Ia sulit berkomunikasi dan sulit fokus. Usianya masih 10 tahun.