Harian Disway - KETIMPANGAN pendapatan dan kemiskinan adalah cerita lama. Indonesia sudah mengalami kemiskinan yang parah dan ketimpangan kaya miskin yang besar sejak era kolonialisme beratus-ratus tahun yang lalu. Sampai sekarang persoalan kemiskinan dan ketimpangan masih tetap menjadi problem laten.
Perdebatan itu ramai lagi sekarang setelah Wakil Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) KH Anwar Abbas memberikan kritik terbuka kepada Jokowi mengenai ketimpangan kaya dan miskin. Kritik itu disampaikan Anwar pada pembukaan Kongres Ekonomi Umat yang diselenggarkan oleh MUI (11/12).
Kritik tersebut seolah menohok Jokowi yang hadir dalam forum itu. Tidak pakai lama, Jokowi langsung merespons kritik Anwar. Ketika diberi kesempatan memberikan sambutan untuk membuka kongres, Jokowi tidak membacakan teks sambutan yang sudah disiapkan timnya. Sepanjang sambutannya, Jokowi berbicara tanpa teks untuk merespons kritik Anwar Abbas.
Anwar Abbas menyoroti masih banyaknya warga yang belum sejahtera. Anwar menyampaikan data Rasio Gini yang mengalami penurunan menjadi 0,59 yang menunjukkan bahwa ketimpangan di Indonesia melebar. Indeks Gini mempunya skala 0 sampai 10. Makin rendah berarti makin rendah kesenjangan. Makin tinggi berarti kesenjangan makin lebar.
Anwar menyorot ketimpangan pemilikan tanah. Disebutkan bahwa 1 persen persen penduduk menguasai 59 persen lahan yang ada di negeri ini. Sementara itu, yang jumlahnya sekitar 99 persen itu hanya menguasai 41 persen lahan yang ada di negeri ini.
Studi mengenai ketimpangan ekonomi sudah sangat banyak dilakukan para sarjana. Salah satu yang paling aktual dan paling tajam dilakukan oleh ekonom Prancis Thomas Piketty yang melakukan riset ekstensif dan menuangkannya dalam buku Capital in the 21th Century (2020) yang dianggap sebagai karya fenomenal.
Ketimpangan adalah fenomena dunia yang sudah berlangsung selama lebih dari 250 tahun. Selama masa panjang itu, berbagai kebijakan untuk mengatasi ketimpangan sudah dilakukan. Tapi, nyatanya ketimpangan masih menjadi persoalan laten yang tetap ada sampai sekarang.
Piketty juga menemukan dokumen lama di Indonesia –dulu Hindia Belanda– berisi data-data perpajakan pemerintah penjajahan Belanda di Hindia Belanda. Berdasar data-data yang dipelajari Piketty, disimpulkan adanya pola yang sama yang memberikan akibat ketimpangan yang sama pula.
Kesimpulan Piketty sederhana, tetapi jelas dan tegas, yaitu jika tingkat akumulasi modal naik lebih cepat ketimbang pertumbuhan ekonomi, ketimpangan ekonomi akan meningkat. Selama akumulasi modal oleh orang-orang kaya dan korporat besar terus meningkat lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi, ketimpangan akan makin tinggi.
Data yang diajukan Piketty sangat detail. Ia mengumpulkan data historis negara-negara Eropa yang maju dan beberapa negara berkembang sejak 1800 untuk melakukan komparasi. Data dokumen penjajahan Belanda pada 1920 juga didapat Piketty dengan cukup detail.
Dengan data historis tersebut, Piketty memetakan hubungan antara kesenjangan dan distribusi pendaatan dan distribusi kesejahteraan serta hubungan antara kesejahteraan dan pendapatan. Dengan ketersediaan data historis dan rumusan tersebut, Piketty menyimpulkan bahwa dengan kesenjangan yang terjadi pada abad ke-19 akan terjadi kembali lagi pada abad ke-21 dan akan menjadi lebih buruk pada masa mendatang.
Terlebih, di masa kini, modal semakin terakumulasi pada segelintir orang. Hal itu ditunjukkan Piketty dengan menggambarkan bahwa 10 persen orang terkaya di Amerika Serikat bukan hanya memiliki 75 persen kekayaan nasional, tetapi bahkan antara 2010 hingga 2012, 1 persen orang terkaya di Amerika Serikat menikmati hampir 95 persen pertumbuhan pendapatan nasional.
Kesenjangan itu tidak hanya menjadi persoalan ekonomi, tapi juga menjadi persoalan sosial politik yang bisa membawa akibat dahsyat. Sebagai orang Prancis, Piketty mengingatkan bahwa kesenjangan ekonomi bisa mengakibatkan revolusi besar seperti yang terjadi pada revolusi Prancis 1776. Jika kesenjangan sosial tidak diatasi secara struktural dan mendasar, ancaman kerusuhan besar dalam bentuk revolusi akan tetap muncul.
Salah satu sumber persoalan sosial serius yang disorot Piketty adalah apa yang disebutnya sebagai ”kapitalisme patrimonial’’ (patrimonial capitalism) yang menjadi gejala abad ini dan terus terjadi sampai sekarang. Salah satu indikator berkembangnya kapitalisme patrimonial adalah munculnya orang-orang kaya baru, bukan karena kepintaran bisnis atau karena punya bakat bisnis, tapi karena mendapatkan warisan.
Orang-orang kaya baru itu mendapatkan warisan dari keluarganya yang bisa dinikmati turun-temurun tanpa harus bekerja sedetik pun. Piketty mencontohkan sosok Francoise Bettencourt Meyers asal Prancis pewaris perusahaan kosmetik raksasa L’Oreal. Dengan kekayaan Rp 1.250 triliun, wanita itu tercatat sebagai manusia terkaya ke-12 di seluruh dunia.