”No viral, no justice,” kata Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Rakor Anev Itwasum Polri 2021 yang disiarkan di YouTube Divisi Humas Polri Jumat (17/12). Maksudnya, masyarakat lapor polisi, kalau tidak viral tidak diurus.
Harian Disway - ITU disampaikan di rapat koordinasi analisis dan evaluasi inspektorat pengawasan umum Polri. Di hadapan personel Polri. Sebagai peringatan Kapolri terhadap kinerja anak buah.
Itu tidak asal ngomong. Melainkan, ada analisisnya. Analisis publik yang dipelajari Polri.
Kapolri: ”Saat ini muncul no viral no justice. Jadi, kalau tidak diviralkan, hukum tak berjalan. Mereka (masyarakat) membuat suatu perbandingan bagaimana kasus yang dimulai diviralkan, dibandingkan kasus yang dimulai dengan dilaporkan dalam kondisi biasa. Mereka melihat bahwa yang diviralkan kecenderungannya akan selesai dengan cepat. Ini tentunya adalah fenomena yang harus kita evaluasi, kenapa ini bisa terjadi.”
Listyo pun menyinggung tagar ”Percuma Lapor Polisi” yang beredar meluas di medsos belakangan ini. Ia menilai, tagar itu muncul karena beberapa kesalahan terkait pelayanan masyarakat.
Listyo: ”Kemudian muncul tagar ’Satu Hari Satu Oknum’. Kekerasan berlebihan yang dilakukan Polri dimunculkan. Ada kekerasan saat penanganan unjuk rasa, termasuk saat rekan-rekan bertugas, dan menerima laporan yang belum jelas sehingga terjadi penembakan. Ini juga di mata masyarakat menjadi penilaian."
Kapolri sangat memperhatikan kondisi di masyarakat. Di era medsos ini bisa langsung terpantau. Tak perlu riset. Itu sebagai cermin wajah Polri.
Dengan peringatan Kapolri itu, tentu kini Polri mendalami penyebab reaksi masyarakat bisa begitu. Negatif.
Dari situ masyarakat bisa menyimpulkan secara sederhana, ada dua hal:
Pertama, no viral, no justice dan tagar Percuma Lapor Polisi menunjukkan polisi kurang semangat. Lamban. Malas.
Kedua, tagar Satu Hari Satu Oknum menandakan setiap hari ada oknum polisi yang melanggar SOP, bahkan melanggar hukum.
Keberanian Listyo membuka analisis-evaluasi internal itu ke publik (via Youtube) menandakan keterbukaan. Tujuannya, publik ikut mengawal polisi yang sudah diarahkan komandan. Dan, keterbukaan itu mempercepat perbaikan Polri.
Meskipun, Listyo tidak membuka secara penuh. Di arahannya diungkap reaksi emosi masyarakat terhadap kinerja Polri. Ditandai dengan warna-warni. Mulai kuning yang diartikan trust sampai ungu yang artinya disgusted atau jijik. Warna kuning 10 persen dari responden. Warna lain tidak diungkap di Youtube itu.
Keterbukaan tersebut gaya pemolisian modern. Saat organisasi kepolisian kali pertama dicetuskan Sir Robert Peel di London, Inggris,1829 (hampir dua abad lalu) awalnya tertutup. Lalu, pelan-pelan memublikasikan berbagai hal internal polisi. Kian lama kian terbuka. Seiring tuntutan masyarakat modern.
George L. Kelling dan Mark H. Moore dalam bukunya, The Evolving Strategy of Policing, Perspectives on Policing (Harvard University, November 1988), menyatakan: