Amerika Serikat (AS) mengekor Inggris. Polisi diperkenalkan di kota-kota AS pada 1840-an atau sekitar 11 tahun setelah diterapkan di Inggris.
Kemudian, hingga awal 1900-an menuju ke era reformasi di pertengahan abad ke-20 dari tahun 1930-an hingga 1970-an, kepolisian AS masih tertutup. Pemolisian di AS menuju modern yang terbuka sejak 1970. Atau sekitar 51 tahun silam.
Maka, tidak ada salahnya pendidikan di Polri banyak mengadopsi pemolisian AS.
Misalnya, restorative justice. Penyelesaian masalah hukum (hanya di tindak pidana ringan) mempertemukan semua pihak yang berkepentingan. Bermusyawarah mencapai sepakat. Pelaku dan korban dengan disaksikan polisi.
Jika antara pelaku dan korban berdamai, tidak ada lagi masalah hukum. Selesai begitu saja. Itu cara AS.
Dikutip dari laman United States Department of Justice, di AS polisi dibantu Community Relations Service (CRS) dari Departemen Kehakiman AS.
Problem yang diungkap Kapolri Jenderal Listyo itu di AS dikumpulkan oleh CRS. Kemudian, diuji kebenarannya. Dianalisis. Akhirnya diserahkan ke departemen polisi sana. Polisi memperbaiki diri.
Di Indonesia, lembaga semacam CRS diemban Kompolnas yang kini dipimpin Mahfud MD.
Kompolnas belum sempat menyampaikan no viral, no urus. Belum sempat. Keburu diungkapkan Kapolri sendiri.
Walaupun, stigma no viral, no urus tak sepenuhnya benar. Ada juga kasus viral, tetap tak diurus. Banyak contohnya.
Antara lain, kasus pelecehan seks di Komisi Penyiaran Indonesia. Yang dikenal dengan ”testis dicoreti spidol”. Sudah viral juga. Tapi hampir ganti tahun ini, belum diproses juga.
Itu kritik baru lagi, buat Polri. (*)