Satu hari jelang persembahyangan Tangcik atau persembahyangan Ronde, umat Kelenteng Boen Bio beramai-ramai membuat ronde untuk dipersembahkan esok hari.
“PERCOBAAN dulu,” ujar Holan, seksi konsumsi acara persembahyangan Tangcik yang digelar hari ini. Di ruangan belakang Kelenteng Boen Bio, dia bersama tiga orang lain mencoba membuat adonan ronde.
Sebelumnya, telah disiapkan bahan isian ronde. Yakni kacang tanah yang telah disangrai kemudian digiling atau dihaluskan bersama gula pasir. Adonan itu ditaburi wijen lalu dibentuk menjadi bulatan-bulatan berukuran kecil, sedang dan besar.
Untuk mengolah adonan ronde perlu tepung ketan. Mereka telah menyiapkannya dalam beberapa wadah. Cucu Holan, Arya Satya Dharma Sidharta, dan seorang remaja bernama Kwan Kuo Poa ikut membantu membentuk adonannya.
Tangan mereka meremas-remas adonan tepung ketan yang telah dicampur dengan air panas. Setelah kalis, adonan tersebut dibentuk menjadi bulatan yang juga berukuran kecil, sedang, dan besar.
“Sudah jadi, Ma,” ujar Satya, bocah berusia 10 tahun itu.
“Setelah ini bikin yang warna merah,” ujar Holan.
Dalam sajian ronde yang digunakan sebagai sarana persembahyangan Tangcik, terdapat dua macam jenis bulatan. Merah dan putih. Maknanya keharmonisan. Seperti yin dan yang . “Kalau untuk umat, dalam tiap mangkuk ada dua belas ronde berukuran kecil dan satu berukuran besar,” ujar Sugito, salah seorang umat yang juga turut membantu.
Setelah adonan tepung ketan selesai, mereka mengambil sebagian kemudian memipihkannya. Isian kacang diletakkan di bagian tengah, lalu dibungkus dengan adonan. Setelah jadi, adonan-adonan putih dan merah diletakkan di dalam tampah bambu yang berbeda dengan dialasi daun pisang.
Proses selanjutnya adalah merebus air gula dalam panci. Ketika telah mendidih, adonan dimasukkan dalam panci tersebut. Sehingga, bulatan nanti tidak lengket, kenyal, dan bertambah rasa manisnya.
Pembuatan kuah cukup mudah. Jahe, serai, pandan, dan gula pasir yang dicampur dengan air kemudian dipanaskan. Adonan-adonan tersebut akan didiamkan selama semalam, untuk digunakan dalam persembahyangan esok hari. “Karena sembayangnya jam 5 pagi, maka pembuatan kuahnya dilakukan mulai pukul empat,” terang Holan.
Penyajiannya punya ketentuan khusus. Satu mangkuk ronde untuk umat terdiri dari dua belas bulatan berukuran kecil dan satu berukuran sedang. Enam ronde berwarna putih, enam ronde merah dan satu ronde sedang berwarna merah.
Sedangkan mangkuk ronde yang dipersembahkan kepada Nabi Kong Zi, nabi besar umat Konghucu, terdiri atas dua belas ronde berukuran sedang dan satu buah berukuran besar. Pembagian warnanya sama dengan mangkuk umat. Yang membedakan hanya ukurannya. Maknanya, karena nabi dianggap sosok paling besar dengan kebaikan dan kebijaksanaan paling utama.
Holan (kanan) dan cucunya Arya Satya menguleni adonan ketan yang akan dibentuk menjadi ronde.(Foto: Fadhilah Yunviani untuk Harian Disway)
Persembahyangan tangcik juga dipercaya dapat memprediksi kondisi cuaca pada saat Imlek, 1 Februari 2022. “Kalau besok pagi saat persembahyangan turun hujan, maka Imlek besok juga hujan. Begitu pun sebaliknya,” ujar Holan, Selasa (21/12).
Kepercayaan lainnya, adonan ronde dapat digunakan untuk memprediksi jenis kelamin bayi yang ada dalam kandungan. “Biasanya, seorang ibu yang penasaran terhadap jenis kelamin anak dalam kandungan, bisa saya tanyakan pada Dewa Dapur sembari membakar ronde,” ujar perempuan 68 tahun itu.
Caranya, sebiji ronde berwarna putih, bermakna kesucian, ditusuk dengan sebatang bambu. Sebelum dibakar, harus diketahui dulu nama ibu hamil yang bersangkutan. Namanya kemudian disebut dalam doa pada Dewa Dapur, meminta petunjuk tentang jenis kelamin jabang bayi yang dikandungnya. “Tapi yang bagian berdoa adalah yang memasak. Sedangkan proses memohon petunjuknya, dilakukan ketika proses memasak pada pagi sebelum persembahyangan,” ujarnya.