Persembahyangan Ronde tahun ini diselenggarakan pada 22 Desember. Bertepatan dengan Hari Ibu. Selain terdapat kegiatan peribadatan di berbagai Kelenteng, rupanya cerita tentang Tangcik di balik sembahyang ronde identik dengan sosok ibu.
JIKA ibadah Dongzhi atau Genta Rohani di Boen Bio dilakukan pukul 05.00, di Kelenteng Delapan Jalan Kebajikan, Wiyung, Surabaya, ibadah tersebut diselenggarakan pukul tujuh malam.
Ibadah dipimpin oleh cuce, pemimpin peribadatan, bernama Wen Shi Handoko Tjokro. Ia didampingi dua pwee ce, pendamping peribadatan. Ibadah dimulai dengan membunyikan lonceng sebanyak 3 kali. Lalu memukul tambur bergantian sebanyak 36 kali, 72 kali, dan 3 kali.
Bagi umat Konghucu, persembahyangan ronde atau Genta Rohani menandai puncak musim dingin serta awal dimulainya perjalanan Nabi Kong Zi dalam mewedarkan ajaran agama dan kebajikan bagi seluruh rakyat di beberapa negara selama 13 tahun.
Prosesi peribadatan kurang lebih sama dengan yang dilakukan di Kelenteng Boen Bio. Setelah peribadatan usai, para rohaniwan dan umat Konghucu bersama-sama menikmati hidangan ronde dan berbagai sajian lainnya di ruang lantai 1 Kelenteng Delapan Kebajikan.
Haruka Shirakawa, remaja yang saat ibadah berlangsung bertugas sebagai cipsu atau pembantu altar, tampak asyik menuang bulatan-bulatan ronde dan kuah jahe di gelasnya.
“Udara musim hujan kan dingin. Kalau minum ronde, lumayanlah bisa bikin badan hangat,” ujarnya. Ibunya, Olivia Yunita, tampak senang melihat sang putri menyantap ronde. “Makan yang banyak, Ce . Kamu kan baru sembuh dari sakit demam berdarah,” ujarnya. Manfaat jahe dan bahan-bahan lainnya yang ada dalam ronde memang berkhasiat menyehatkan tubuh dan mencegah peradangan.
Persembahyangan ronde atau Tangcik/Dongzhi/ Genta Rohani tahun ini bertepatan dengan Hari Ibu, tanggal 22 Desember. Rupanya, legenda tentang ronde atau tangyuan, sangat berkaitan dengan sosok ibu.
Dihubungi secara terpisah, penganut Buddha yang juga penasihat Perkumpulan Doa Bersama Lotus Surabaya di Pandegiling, Hanadi Soehardjo Hartono, membabarkan legenda Tiongkok terkait sosok Tangcik. Yakni seorang ibu yang rela mengorbankan segalanya demi putra terkasihnya.
“Ceritanya, ada seorang pemuda yang mencari tanaman di hutan. Karena kurang waspada, matanya terkena racun tanaman sehingga jadi buta,” ujarnya sembari duduk di meja samping altar Dewi Kwan Im, di ruang utama Lotus.
Seseorang yang sedang lewat di hutan tersebut menemukan pemuda itu dan mengantarnya ke rumah. Sesampainya di rumah, sang ibu yang telah sangat tua memapahnya untuk beristirahat sejenak di ranjang. Tak lama sang pemuda pun tertidur.
“Karena rasa kasih terhadap anaknya, sang ibu mencongkel matanya sendiri. Kemudian dipasangkan pada mata anaknya,” tuturnya. Ajaibnya, sang anak dapat melihat kembali. “Pemuda itu terkejut dan ingin mengembalikan mata tersebut pada ibunya, tapi sang ibu menolak,” tambahnya.
Namun ibu tua itu memberinya petunjuk untuk membuat dua bulatan ronde dari tepung ketan. Kemudian dua ronde itu dipasang pada mata ibunya. Keajaiban pun terjadi. Bola ronde itu berubah menjadi dua mata sehingga ibunya dapat melihat kembali.
Maka, makna di balik hidangan ronde adalah wujud kasih ibu pada anaknya. “Sesuai dengan Hari Ibu, 22 Desember. Legenda ronde memang identik dengan sosok ibu,” ungkap ayah satu anak itu.
Kisah tersebut dikenal dengan Legenda Tangcik. Tangcik atau tang cie, berarti musim dingin. Dalam dialek Hokkian biasa disebut Dongzhi.
Haruka Shirakawa mengambil ronde saat Festival Tangcik, Rabu (22/12).(Foto: Guruh Dimas Nugraha-Harian Disway)
Hingga saat ini setiap hari Tangcik dan penghayatan terhadap legenda tersebut, masyarakat merayakannya dengan mengumpulkan seluruh anggota keluarga di rumah untuk makan ronde.