Penyelamatan Cantik Bank Muamalat

Rabu 05-01-2022,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

Harian Disway - BANK Muamalat akhirnya menemukan solusi. Bank yang dalam beberapa tahun kinerjanya terus menurun itu bakal memperoleh suntikan modal. Kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) yang sempat menyentuh 12 persen bakal melonjak menjadi 30 persen. Bank Muamalat diyakini bakal makin sehat.

Suntikan modal itu berasal dari right issue pekan ini yang bakal memperoleh dana segar Rp 1 triliun. Dana itu berasal dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang akan menjadi pemegang saham pengendali (PSP). Dengan pembelian saham baru itu, BPKH akan menguasai 82,7 persen Muamalat.

Bank syariah pertama di Indonesia tersebut akan kian sehat karena akan mendapat suntikan dari BPKH sebesar Rp 3 triliun. Yang Rp 2 triliun melalui penyerapan terhadap sukuk subordinasi yang diterbitkan Muamalat dengan kupon ekuivalen 9 persen per tahun.

Langkah penyelamatan Bank Muamalat itu tampak cantik. Sebab, pemegang saham pengendali, yaitu BPKH, masuk ke Muamalat dengan mulus melalui hibah atau pengalihan saham dari PSP sebelumnya. Islamic Development Bank (IsDB), Boubyan Bank, Atwill Holdings Limited, National Bank of Kuwait, IDF Investment Foundation, dan BMF Holdings Limited.

BPKH menerima 7,9 miliar lembar saham Bank Muamalat atau setara dengan 77,42 persen. Itu menjadikan  total kepemilikan saham BPKH menjadi 78,45 persen.  Sebelum injeksi modal itu, BPKH terlebih dahulu bekerja sama dengan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) untuk mengelola aset pembiayaan berkualitas rendah di Bank Muamalat sebesar Rp 10 triliun. Setelah aksi itu, rasio pembiayaan bermasalah alias NPF Bank Muamalat turun drastis menjadi 0,58 persen.

Penyelamatan itu juga sangat strategis. Sebab, BPKH adalah  ”investor gajah”. Bagaimana tidak. Asetnya, yaitu asset under management (AUM) atau dana kelolanya mencapai Rp 158 triliun. Itu tentu akan meningkatkan kepercayaan investor dan masyarakat terhadap Bank Muamalat.

Selain itu, masuknya ke Muamalat tersebut juga menguntungkan BPKH. Sebab, sebenarnya industri perbankan masih merupakan investasi paling menarik. Return on equity (ROE) sektor perbankan sangat tinggi yang berarti akan menguntungkan BPKH. Muamalat juga akan menjadi portofolio menarik bagi BPKH selain investasi pada instrumen keuangan.

Sebelum kinerjanya menurun drastis, Bank Muamalat tercatat sebagai bank syariah terbesar kedua setelah Bank Syariah Mandiri (BSM). Muamalat termasuk bank BUKU (bank umum kegiatan usaha) 3 dengan modal inti di atas Rp 5 triliun. Tahun 2014, asetnya menyentuh Rp 62 triliun dan DPK Rp 51 triliun. Namun, karena mismanagement, kinerjanya terus memburuk.

Tahun 2020, asetnya turun hingga menjadi hanya Rp 51 triliun. Begitu juga pembiayaan dan DPK yang terus menurun. Itu berdampak secara keseluruhan terhadap kinerja Muamalat terus menurun. Keuntungan yang tahun 2013 mencapai Rp 476 miliar tinggal Rp 10 miliar pada 2020. Pembiayaan bermasalah terus meningkat sehingga modal Muamalat tergerus.

Parahnya, manajemen yang berusaha menyelamatkan Bank Muamalat berkali-kali gagal. Beberapa kali right issue tidak berhasil. Muamalat tak kunjung memperoleh investor. Setiawan Ikhlas (PT Minna Padi Tbk), Dato Sri Tahir (Mayapada Group), International Finance Corporation (IFC), dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk yang disebut-sebut bakal masuk Muamalat hanya isapan jempol. Begitu juga Ilham Habibie melalui Grup Pemodal Al-Falah.

Keberadaan BPKH sebagai pemegang saham pengendali akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Muamalat. Itu akan berdampak positif karena Muamalat memiliki loyal customer yang sangat besar. Syariah loyalis. Itu sudah dibuktikan saat krisis ekonomi melanda industri perbankan tahun 1998. Muamalat bertahan dengan kinerja yang cukup bagus sehingga menginspirasi banyak pihak untuk masuk industri perbankan syariah.

Jika berhasil memperbaiki kinerjanya, tidak sulit bagi Muamalat untuk menarik kembali nasabah-nasabah loyalnya. Itu juga akan membawa multiplier effect yang bagus bagi bank yang didirikan atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu. Juga, bagi industri perbankan syariah secara keseluruhan.

Ihwal nasabah itu memang menjadi risiko tersendiri bagi bank syariah. Ya, bank syariah memang memiliki risiko yang lebih beragam daripada bank konvensional. Paling tidak, ada tiga risiko tambahan yang khusus dimiliki perbankan syariah.

Pertama adalah displacement commercial risk. Risiko nasabah berpindah ke bank konvensional ketika bank itu lebih menarik daripada syariah. Misalnya, deposito memberikan bunga yang lebih besar daripada bagi hasil perbankan syariah. Atau bunga kredit di bank konvensional lebih rendah daripada margin pembiayaan di bank syariah.

Itu cukup signifikan karena nasabah di perbankan syariah itu didominasi nasabah rasional. Nasabah yang datang ke bank syariah ketika merasa lebih menarik dan menguntungkan daripada bank konvensional. Dari berbagai survei, nasabah tersebut mencapai 80 persen. Nasabah emosional –memilih faktor syariah– hanya sekitar 20 persen.

Tags :
Kategori :

Terkait