Mahalnya Merawat Rumah Cagar Budaya

Jumat 07-01-2022,04:00 WIB
Editor : Redaksi DBL Indonesia

Ada 288 bangunan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemkot Surabaya. Pemiliknya tidak boleh membongkar. Kalau rusak, urusannya panjang. Bisa sampai dipidana. Masalahnya, ongkos untuk mempertahankan bangunan tua itu tidak murah.

GANG Plampitan Masjid, Surabaya,  begitu sejuk sore kemarin (6/1). Hujan baru lewat sebentar di pusat kota. Bangunan-bangunan lawas di gang sempit itu seperti mesin waktu yang membawa kita ke masa perjuangan.

Masjid Plampitan yang pernah jadi tempat berkumpul para tokoh bangsa berdiri tak jauh dari mulut gang. Di tempat itu, Bung Karno, Doel Arnowo, Achmad Jaiz, dan Roeslan Abdulgani sering berkumpul. ”Dulu Bung Karno kalau beli rokok yang di sini,” ujar Djarot Indraedhi menunjuk rumah di seberang masjid.

Ia tinggal di sana. Di Rumah Roeslan Abdulgani, tokoh penting atas terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955. Di masa Presiden Soekarno, Roeslan dipercaya sebagai Menteri Luar Negeri (1956-1957).

Djarot menikahi keponakan Cak Roes: Rahma Rondang Aristien. Selama ini, ayah lima anak itulah yang merawat rumah di Jalan Achmad Jais Masjid No 34-36.

Itulah salah satu rumah paling mewah di Gang Plampitan. Ayah Roeslan Abdul Ghani adalah Abdul Ghani. Ialah saudagar kaya dari Yaman. Fotonya terpampang besar di dinding sebelah kanan dari pintu masuk.

Bangunannya masih asli. Fasad depannya memanjang. bergaya kolonial. Ada banyak jendela dan pintu yang menghubungkan dengan area ruang tamu.

Di dindingnya tertempel banyak foto-foto keluarga besar Roeslan hingga foto bersama tokoh-tokoh dunia. Salah satunya foto bersama Mantan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru.

Di balik foto-foto nostalgia itu ada tembok rapuh berusia ratusan tahun yang perlu perawatan. Cat putihnya mengelupas. Kalau dilihat lebih detail, cat itu sudah ditumpuk berlapis-lapis. “Aduh, ini tiga bulan sekali dicat. Begini lagi. Begini lagi,” kata Djarot sambil menunjuk dinding itu.

Ia sudah pernah konsultasi ke pakar teknik sipil. Ternyata bangunan-bangunan tua era Belanda tidak pakai pondasi beton. Air tanah meresap ke tembok. Terjadi proses kapilaritas air.

Resapannya bisa sampai ke langit-langit. Makanya, tembok harus sering-sering dilabur agar rumah tidak terlihat rungsep. Kalau ditotal, ia bisa menghabiskan Rp 25 juta untuk mempertahankan rumah bersejarah itu. ”Bayar tukangnya bolak-balik,” jelasnya.

Inilah dilema pemilik cagar budaya. Negara menginginkan bangunan dipertahankan oleh pemiliknya. Namun, tidak ada insentif atau bantuan dari pemerintah.

Pemkot Surabaya memberikan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 50 persen. Namun Djarot tak mengambil kesempatan itu. Pemilik cagar budaya harus mengurus keringanan setiap tahun. ”Istilahnya kayak ngemis,” kata ketua RT setempat itu.

Ia berharap pemkot memperhatikan bangunan-bangunan cagar budaya. Ada banyak yang sudah mau roboh.

BUKU karya Roelan Abdulgani bejudul Masa Kecilku di Surabaya yang masih tersimpan di Omah Sejarah Suroboyo (Foto: Eko Suswantoro-Harian Disway)

Tags :
Kategori :

Terkait