Mahalnya Merawat Rumah Cagar Budaya

Jumat 07-01-2022,04:00 WIB
Editor : Redaksi DBL Indonesia

Djarot mengusulkan agar pemkot membuat satgas khusus cagar budaya. Tugasnya memantau setiap bangunan cagar budaya secara berkala. Bisa tiga bulan sekali. Atau setahun dua kali.

Jika ada kerusakan, para ahli bangunan kuno itu bisa memberi rekomendasi ke dinas terkait untuk melakukan perbaikan. Sebenarnya hal itu pernah dilakukan era Wali Kota Bambang D.H. ”Ada plafon rusak, tim pemkot datang memperbaiki,” jelasnya.

Toh bangunan cagar budaya di Surabaya hanya 288 unit. Relatif tidak banyak. Keberadaan tim itu juga bisa meminimalkan hilangnya bangunan cagar budaya penting seperti Rumah Radio Bung Tomo hingga Sinagoge Kayoon.

Direktur Surabaya Heritage Society (SHS) Freddy H. Istanto memahami dilema pemilik cagar budaya. Mereka terpasung oleh aturan birokrasi. ”Mau gerak salah. Ini itu izin dulu. Sedangkan perhatian pemerintah nyaris nggak ada,” ujar dosen Arsitektur-Interior Universitas Ciputra (UC) tersebut.

Freddy melihat persoalan di rumah Roeslan juga dialami hampir semua rumah kuno di Surabaya. Muka air tanah Surabaya sangat rendah. Air yang meresap ke tembok tak hanya membahayakan bangunan, tapi juga penghuninya. ”Itu mengundang jamur. Bisa infeksi saluran pernapasan atas (ISPA),” ujarnya.

Djarot Indraedhi, cucu menantu Roelan Abdulgani, menceritakan bagian Omah Sejarah Suroboyo. (Foto: Eko Suswantoro-Harian disway)

Ia pernah tinggal di rumah tua. Karena itulah saat kecil Freddy sempat punya permasalahan pernapasan.  Udara di dalam ruangan lembap.

Menurutnya, pemkot harus merekrut para ahli di bidang bangunan cagar budaya. Ada ahlinya sendiri. Seperti penyelamatan Balai Pemuda. ”Jadi timnya itu punya sertifikasi khusus. Nah ini Surabaya perlu menggandeng mereka. Nggak bisa orang bangunan biasa,” jelasnya.

Plesteran tembok harus mengandung banyak semen atau campuran trasram yang kedap air. Dengan begitu sifat kaliper dinding bisa diredam. (Salman Muhiddin)

 

 

 

 

 

 

Tags :
Kategori :

Terkait