SETELAH sukses besar dengan Dua Garis Biru, Gina S. Noer kembali mengangkat film bertema keluarga. Judulnya Cinta Pertama, Kedua & Ketiga. Resmi dirilis di bioskop Kamis lalu (6/1). Dibintangi Angga Yunanda, Putri Marino, Slamet Rahardjo Djarot, Ira Wibowo, dan Elly D. Luthan, ada banyak pesan yang coba disampaikan oleh Gina dalam film ini.
Premisnya sendiri cukup kompleks. Meliputi beban sandwich generation, bakti pada orang tua, hingga rasa cinta dan kasih sayang kepada sesama. Bagaimana Gina meramu segala tema berat agar film ini mudah dinikmati? Berikut obrolan Gina dan Angga dengan Harian Disway saat mereka berkunjung ke redaksi kemarin (6/1).
Setelah Dua Garis Biru, Anda kembali mengangkat tema keluarga. Apa yang bikin tema ini begitu menarik untuk dieksplorasi?
Gina: Saya selalu suka menulis dan membawakan tema keluarga. Karena memang tema itu yang paling kompleks dan dekat dengan manusia. Keluarga itu punya banyak lapisan. Dalam Dua Garis Biru, saya melihat pengalaman dari masyarakat di luar, kemudan merefleksikan ke dalam. Di Cinta Pertama, Kedua & Ketiga sebaliknya. Banyak yang terinspirasi dari pengalaman pribadi.
Ada rasa cemas berlebih ketika kita tidak bisa merekam momen berharga bareng keluarga. Terlebih karena saya dekat dengan penyakit Alzheimer. Ada turunan dari keluarga yang begitu. Mengurus keluarga, menunda mimpi, mejadi bagian dari sandwich generation, dan lain-lain beneran dibahas di sini. Saya rasa belum banyak film yang mengangkat itu.
Syuting dilakukan pada masa pandemi. Apa tantangannya?
Gina: Rencana awal seharusnya mulai syuting Maret 2020. Tapi bulan itu juga kali pertama virus korona baru masuk Indonesia. Jadi terpaksa mundur. Saya merasa agak ragu kalau harus menunggu korona selesai baru gerak. Jadi diputuskan untuk melakukan pra-produksi secara daring.
Pendalaman karakter juga secara online?
Gina: Iya. Kami reading (proses pembacaan naskah) lewat Zoom. Pendalaman materi syuting juga via video call. Pun ketika Angga dan beberapa pemeran lain latihan menari. Mereka diberi contoh di layar, lalu dipraktekkan di tempat masing-masing. Akhirnya, mau tidak mau, pandemi malah menjadi bagian dalam cerita.
Dalam beberapa adegan di trailer, Angga tampak mengenakan masker. Itu murni protokol kesehatan, atau memang ceritanya mengharuskan ia memamai masker?
Angga: Dua-duanya. Masker menjadi salah satu properti syuting. Ini tantangan bagi saya dan Putri (Marino) terutama. Karena harus membawakan karakter secara utuh, meski wajah tidak sepenuhnya terlihat. Ekspresi kan biasanya ditampilkan satu wajah. Nah, kali ini kami harus berakting lewat mata saja.
Berbeda dengan Om Slamet (Rahardjo), Tante Ira (Wibowo), Bu Elly D. Luthan, dan Kak Widi (Mulia) yang sudah lebih berpengalaman. Mereka mengenal dunia teater lebih lama. Ini pembelajaran yang menurut saya sangat baik dan jarang ditemui.
Gina: Triknya di sini malah saya tidak membahas masker dan pandemi secara gamblang. Biasanya, kalau orang semakin dekat, mereka akan otomatis lebih percaya untuk membuka masker. Jadi posisinya lebih ke pendalaman karakter. Sebut saja Om Slamet dan Angga yang beradegan bareng, mereka sebagai ayah dan anak. Secara natural akan buka masker saat ketemu. Jadi di sini masker juga menjadi simbol bahwa dua orang, atau dua keluarga, telah menjadi satu.
Bagaimana caranya menyatukan visi aktor-aktris dua generasi dalam satu film?