Ngobrol dengan Sutradara Gina S. Noer dan Aktor Angga Yunanda

Minggu 09-01-2022,05:07 WIB
Editor : Nanang Prianto

Gina: Seperti seorang konduktor yang memimpin kelompok paduan suara. Ada suara sopran, mesosopran, bass. Memang menantang. Kita harus mencari keseimbangan di antara mereka. Misalnya, Om Slamet yang biasa di teater, gesturnya selalu meledak-ledak.

Sedangkan Angga dan Putri sejak awal berkarier, interaksinya dengan penonton memang sudah terbatasi layar. Jadi memang gayanya beda. Itu yang harus diseimbangkan. Kadang saya minta Om Slamet untuk menurunkan kadar bombastis. Atau saya minta Angga dan Putri untuk lebih ekspresi. Mengarahkannya harus satu per satu. Itu menyenangkan buat saya sebagai sutradara.

Untuk Angga, gimana rasanya berakting dengan Slamet Rahardjo?

Angga: Beruntung banget! Karena saya bisa belajar banyak hal. Apalagi basic-nya beliau adalah pengajar. Berasa kuliah tiap hari, karena ada saja ilmu yang didapat setiap ketemu. Yang paling saya ingat ketika beliau tanya umur saya. Saya jawab, tahun ini 21 tahun. Beliau bilang gini: ’Saya umur 21 tahun udah dapet Piala Citra, lho’. Belum-belum udah kena mental, hahaha.

Gina: Om Slamet punya macam-macam cara untuk transfer ilmu. Salah satu yang ekstrem nih, Angga mau melafalkan dialog apa gitu, tapi enggak bisa-bisa. Ia sampai kesal sendiri. Karena aktingnya nggak sesuai sama yang ia pingin. Tiba-tiba Om Slamet panggil Angga. Lalu meminta Angga meletakkan kepala di meja. Om Slamet menekan kepala Angga, lalu suruh Angga ngomong. Saat itulah Angga bisa mengeluarkan dialog dalam cara yang ia inginkan.

Anda sudah pernah mengajak Angga bermain di Dua Garis Biru. Ini kali kedua Anda bekerja sama dengannya. Apa yang spesial dari Angga? 

Gina: Di luar soal talenta, saya selalu senang bekerja dengan orang baik. Angga itu orang baik, mau belajar, dan bisa dipercaya. Sikap tersebut memudahkan proses penggarapan film. Saya melihatnya sejak dari film Dua Garis Biru. Kehadirannya bikin nyaman semuanya. Ia kadang ngerasa insecure. Padahal potensinya besar banget lho.

Angga kini tentu makin nyaman bekerja bareng Gina S. Noer?

Angga: Kak Gina adalah salah seorang sutradara dan penulis yang cocok sama gaya saya. Karena bagus dalam komunikasi serta penyampaian. Dia bisa menempatkan kru dan seluruh elemen produksi jadi satu bagian dari cerita. Satu lagi, dia juga sangat mendetail dalam segala hal. Kalau saya ngerasa sedang down, beliau juga yang mengangkat mental saya. Dia suka bilang, ’Udah, jangan overthinking. Chill!’ Nah, itu saya cocok banget.’’

Dua Garis Biru sukses ditonton oleh 2,5 juta orang. Apa harapannya untuk Cinta Pertama, Kedua & Ketiga?

Gina: Wah, kalau ini enggak ada ekspektasi apa-apa ya. Karena kan masih pandemi. Dulu, sebelum pandemi, kursi bioskop bisa 100 persen. Kini dibatasi. Jadi dari situ saja sudah pasti berkurang. Kedua, orang juga belum sepenuhnya berani menonton di bioskop. Jadi sekarang enggak bisa menarget jumlah penonton. Yang penting pesannya nyampe aja, kita sudah senang.

Jadi apa pesan yang ingin disampaikan?

Gina: Film ini adalah surat cinta untuk banyak keluarga yang selalu berusaha mencari bentuk terbaik dalam keadaan tersulit pun. Film ini berusaha mengulik bagaimana keluarga tetap bisa terbentuk di keadaan yang tak ideal. Ini film untuk keluarga. Tentang perayaan cinta yang menghangatkan hati. Bisa ditonton bareng seluruh anggota keluarga. So, selamat menikmati. 

Angga: Ini adalah film yang paling tepat untuk memulai 2022. Ada banyak rasa yang bisa dirasakan di sini. Bahkan saya sampai nonton empat kali. Lebih sering daripada Kak Gina. Pesannya bener-bener sampai. (Retna Christa-Ajib Syahrian)

MESKI satu generasi, Raja (Angga Yunanda, kiri), dan Asia (Putri Marino) memandang pengabdian kepada keluarga dengan cara berbeda. Namun, mereka malah saling jatuh cinta. 

 

Tags :
Kategori :

Terkait