Pemkot menamakan kawasan Balai Pemuda dan ruang bawah tanahnya sebagai Alun-Alun Surabaya. Wali Kota Tri Rismaharini (2010-2020) memberi nama itu karena Surabaya tidak punya alun-alun seperti daerah lain. Padahal Surabaya pernah punya alun-alun. Bahkan ada dua.
YANG paling pas disebut alun-alun adalah Tugu Pahlawan. Bukan kawasan Balai Pemuda dan ruang bawah tanahnya.
Di kawasan Tugu Pahlawan, ada lapangan luas berbentuk persegi empat yang dikelilingi persimpangan jalan. Biasanya ada pendapa bupati di sisi timur. Sedangkan di barat ada tempat peribadatan atau masjid jamik. Di timur Tugu Pahlawan ada kantor Gubernur. Namun, masjid jamiknya tidak ada.
“Tapi memang dulu pernah ada alun-alun di Tugu Pahlawan,” kata anggota Komunitas Begandring Soerabaia Nanang Purwono kemarin. Komunitasnya getol menolak penamaan Alun-Alun Surabaya.
Nanang melihat banyak pengunjung yang tidak mengenal Balai Pemuda. Begandring mewawancarai para pengunjung soal nama tempat itu. Mereka sudah lebih familiar dengan sebutan Alun-Alun Surabaya. Bahkan banyak yang tidak tahu nama Balai Pemuda.
Problem pertama, nama Balai Pemuda perlahan akan terkikis. Nanang melihat para milenial tidak menyadari bahwa mereka sedang berswafoto di teras bangunan bersejarah. Di tempat itu, barisan Pemuda Republik Indonesia (PRI) mati-matian bertempur mempertahankan kemerdekaan RI.
Problem kedua, fakta bahwa Surabaya punya alun-alun juga bakal sirna. Nanang menerangkan, Alun-Alun Surabaya pernah ada di kawasan Tugu Pahlawan di era pemerintahan Jayalengkara, Pangeran Pekik, hingga Trunojoyo.
Lokasinya digambarkan secara gamblang pada peta penyerangan Cornelis Speelman pada 1677. Itulah tempat terbuka yang disediakan pemerintahan lokal untuk berbagai kegiatan rakyat.
Di era kolonial Belanda masih menghargai keberadaan sistem pemerintahan lokal yang berbentuk kadipaten itu. Saat kekuasaan VOC beralih ke Pemerintah Hindia-Belanda, sistem karesidenan dan kabupaten masih dipakai.
Surabaya dipimpin oleh seorang residen yang orang Belanda. Residen memimpin beberapa kabupaten yang dipimpin seorang bupati.
Misalnya Karesidenan Surabaya membawahkan Kabupaten Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang dan Gresik. Nah, khusus bupati dijabat oleh orang lokal.
Semua kabupaten di bawah Karesidenan Surabaya masih punya alun-alun. Hanya Surabaya yang jejak alun-alunnya sirna.
Dulu, Jalan Pahlawan dinamai Alun-alun Straat. Sedangkan tanah lapang alun-alunnya jadi Tugu Pahlawan yang diresmikan Presiden Soekarno pada 10 November 1952.
Atas semua itu, Nanang mengusulkan pemkot meninjau ulang penamaan Alun-Alun Surabaya. Ia mengusulkan agar namanya dikembalikan ke Balai Pemuda. “Atau dicarikan nama baru yang tidak mengaburkan jejak sejarah,” kata penulis buku Benteng-Benteng Soerabaia itu.
Sejarawan Universitas Airlangga Adrian Perkasa menambahkan, Surabaya sebenarnya punya dua alun-alun. “Alun-alun lor (utara) ada di Tugu Pahlawan, yang kidul (selatan) ada di Alun-Alun Contong,” ujar mantan Cak Surabaya itu.
Surabaya memiliki keraton saat era Sultan Agung berkuasa atas Kerajaan Mataram Islam. Letaknya di area Kramat Gantung atau Kampung Kepatihan Bubutan.