Sedangkan petani yang ditemui Soekarno itu punya apa-apa. Walaupun sangat sederhana.
Menjelang Bung Besar meninggalkan petani itu, Bung Besar bertanya: ”Siapa namamu?”
Dijawab petani: ”Marhaen.”
Bung Besar menghabiskan sisa hari itu dengan bersepeda mengitari Bandung. Sepanjang jalan ia terus berpikir. Menyusun keping-keping pemikiran yang selama ini tersumbat di benaknya.
Bung Besar kemudian menulis: ”Di saat itu cahaya ilham melintas di otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia. Semenjak itu kunamakan rakyatku, Marhaen."
Dalam penelusuran lebih lanjut, wartawan senior Surabaya, Peter Apollonius Rohi (alm), melakukan peliputan sejarah, 2001. Peter pengagum Bung Karno. Ia menapaktilasi jejak Bung Karno di Bandung Selatan, saat bertemu Marhaen itu.
Hasil investigasi, Peter menemukan cucu Marhaen. Mewawancarainya. Tapi, orang yang bertemu Bung Karno di tengah sawah itu, menurut Peter, bukan bernama Marhaen.
Melainkan, Aen. Biasa dipanggil Mang Aen. ”Mang” dalam bahasa Sunda berarti paman atau paklik bahasa Jawa.
Peter, sebagai jurnalis, tidak menyimpulkan apa-apa terkait itu. Ia hanya menegaskan bahwa petani tersebut dipanggil Mang Aen.
Mang Aen berbincang dengan Bung Karno di tengah sawah, tahun 1927. Saat itu warga sekitar memperhatikan. Sebab, orang bersepeda di zaman itu adalah kaum elite. Kalau bukan orang Belanda, ya pribumi elite. Makanya, warga bergerombol di sana.
Terlepas, Mang Aen atau Marhaen, tapi itulah embrio marhaenisme. Yang jadi akar budaya politik Partai Nasional Indonesia (PNI) Bung Karno.
PNI kemudian berubah nama jadi PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Internal PDI pecah pada 1996. Terjadi bentrok berdarah di markas PDI, Jalan Diponegoro, Jakarta, 27 Juli 1996.
PDI pecah dua. PDI pimpinan Surjadi dan Megawati Soekarnoputri membentuk PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Yang sekarang jadi partai bernaungnya Arteria Dahlan.
Arteria menyodok suku Sunda, kecintaan Bung Karno. Maka, Arteria bisa dihardik Bung Karno: ”Jas merah. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah." (*)