Antibodi bisa terbentuk secara alamiah akibat paparan Covid-19 (pada penyintas), maupun pascavaksinasi. Vaksinasi primer yang umumnya diberikan dalam dua dosis ternyata masih bisa ’dilewati’ Omicron.
Negara-negara yang sudah menerapkan vaksin booster, juga tidak mampu menghadang 100 persen paparannya. Antibodi ibarat suatu sistem pertahanan terhadap serangan lawan pada pertandingan sepak bola. Omicron ’sangat lincah’ berkelit dari tackling pemain bertahan. Akibatnya ’gol’ bisa terjadi dalam bentuk terjadinya penularan/infeksi.
Namun perlu dicatat bahwa vaksinasi primer yang lengkap mampu menghalangi tingkat fatalitas Omicron. Apalagi yang sudah divaksin booster. Sebaliknya, bila belum mendapatkan vaksinasi sama sekali, akan membuka risiko besar paparan Omicron.
Mari berkaca pada pengalaman negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Cakupan vaksinasi pada rakyat mereka sudah demikian tinggi. Jumlah penyintas akibat varian Delta juga melampaui negara-negara lainnya.
Tidak mengherankan, status respons imun (seluler dan humoral/antibodi) pada masyarakat juga tinggi. Ini bisa diketahui dengan penelitian seroprevalence.
Misalnya di Inggris. Sembilan di antara 10 penduduk, memiliki antibodi terhadap Covid-19. Artinya, prevalensi tes serologi terhadap Covid-19, mencapai 90 persen.
Jadi, wajar kalau dikatakan Omicron di negara-negara tersebut berdampak ’ringan’.
Singapura layak sebagai bahan pembanding. Negara itu telah mendeteksi transmisi lokal Omicron, pada awal Desember 2021. Sebulan setelahnya, Omicron telah mendominasi penularan di negara berpenduduk 5,7 juta jiwa tersebut. Peningkatan kasus Omicron justru tanpa disertai kenaikan jumlah perawatan di rumah sakit. Hingga kini belum ada laporan kematian akibat varian Omicron.
Negeri Singa merupakan salah satu negara di dunia yang terbaik cakupan vaksinasinya. Lebih dari 90 persen rakyatnya telah menjalani vaksinasi dengan dua dosis. Setengah dari penduduknya telah menerima vaksinasi booster. Mereka menggunakan vaksin berteknologi m-RNA.
Terlalu dini kalau menyamakan makna ringan di negara-negara tersebut dengan negara kita. Persentase cakupan vaksinasi primer dengan dua dosis di Indonesia, tidak setinggi di Inggris, Amerika Serikat atau pun Singapura.
Gelombang Covid-19 varian Omicron telah mampu mengambil alih posisi varian Delta. Semuanya bisa dikaitkan dengan sifat virus ini yang berbeda dengan ’induknya’.
Varian virus yang pertama kalinya dilaporkan di Afrika Selatan ini, lebih dominan berkembang pada saluran napas atas manusia. Khususnya pada daerah pharing.
Kemampuan berkembang biaknya mencapai kecepatan 70 kali lipat.
Namun sebaliknya, pada jaringan paru bereplikasi 10 kali lebih lambat. Kapasitas ini dibandingkan dengan versi asli virus Corona. Fenomena ini jelas berdampak pada tingkat fatalitas penyakit.
Badai sitokin yang relatif lebih sering terjadi pada varian Delta, jarang terjadi pada Omicron. Badai sitokin merupakan mekanisme peradangan yang berlebihan dan tidak terkendali, dapat berujung pada gagal napas.