Itu membuat Kapolri Jenderal Listyo prihatin.
Kapolri di raker Komisi III DPR: "Penurunan ini dipicu serangkaian pelanggaran personel dan pelayanan yang tidak profesional. Tentunya berbagai fenomena ini harus kami perbaiki dengan progres yang konkret."
Dilanjut: "Polri telah melakukan penelitian terkait dengan penyebab penyimpangan-penyimpangan, antara lain penyebab penyimpangan terdiri atas faktor individu dan faktor organisasi."
Dilanjut: "Untuk meminimalkan faktor-faktor tersebut, kami akan melakukan pengawasan sampai dengan titik-titik terkecil atau polsek, agar pelaksanaan tugas Polri berjalan dengan baik."
Pengakuan Kapolri itu sesuatu yang positif. Yang di masa-masa lalu tidak diakui Polri.
Meski, prestasi Polri di 2021 juga luar biasa hebat. Di antaranya, menangkap 370 teroris sebelum mereka beraksi. Juga, mengamankan barang bukti senilai Rp 88 triliun dari kasus narkoba.
Salah satu action Polri di 2022 ialah mengubah nama aplikasi ”Polisiku” menjadi ”Presisi Polri”.
Kalau hanya mengubah nama, apalah artinya. Tapi, itu sekaligus perubahan peningkatan fungsi.
Aplikasi Presisi Polri berfungsi aneka layanan masyarakat. Tidak perlu datang ke kantor polisi seperti dulu.
Kapolri: ”Aplikasi Presisi Polri akan menjadi aplikasi tunggal dengan tingkat keamanan tier empat yang menggabungkan seluruh aplikasi pelayanan kepolisian dalam satu platform. Yaitu, bidang lalu lintas, pembuatan SKCK, pelayanan SPKT, bidang penegakan hukum, dan pengawasan.”
Dilanjut: "Ke depan seluruh pelayanan kepolisian dapat diakses dalam genggaman. Polri akan terus melakukan sosialisasi terhadap pelayanan ini secara masif."
Layanan Polri dalam genggaman (HP) jelas memudahkan masyarakat. Tidak perlu ke kantor polisi. Berarti menghemat waktu. Tidak mungkin ada sogokan atau uang tip ke polisi.
Seumpama ada pelanggaran anggota Polri, masyarakat bisa langsung melapor juga ke situ. Pengawasan Polri pun lebih efektif.
Mengapa tidak dari dulu begitu? (*)