Di situ disebutkan, negara gagal gegara korupsi karena negara tidak mampu lagi membuat rakyat hidup sejahtera. Sebab, kekayaan negara dikorup para pejabat publik.
Di semua urusan pelayanan publik, masyarakat harus membayar kepada petugas penyelenggara negara, yang semestinya melayani rakyat. Akhirnya, rakyat terpuruk dalam kemiskinan. Kian besar korupsi, kian parah kemiskinan rakyat.
Di Nigeria, yang terburuk dalam layanan publik. Dicatat USD 530 juta (Rp 7,59 triliun) per tahun dana pemerintah untuk membayar ”pekerja hantu”. Atau orang yang memasukkan nama mereka ke daftar gaji pemerintah, dan menerima gaji, tanpa bekerja.
Di Indonesia, beberapa waktu lalu terungkap, ribuan pegawai negara yang sudah mati tetap menerima gaji. Cuma, mungkin, itu tak terpantau Partnership for Transparency sehingga tak terpublikasi internasional.
Tapi, majalah Fund for Peace and Foreign Policy menyebutkan ini:
"Di Jakarta, Lima (ibu kota Peru), Manila, dan Nairobi, orang miskin membayar lima sampai sepuluh kali lebih banyak untuk air daripada rekan-rekan mereka yang kaya.”
Tidak ada perincian untuk kutipan tersebut. Bisa ditafsirkan, pemerintah tidak mampu memberikan air minum gratis bagi seluruh warga.
PDAM hanya (menjual) air tidak keruh. Tapi, bukan air minum manusia sehat. Sedangkan negara-negara yang tidak korup mampu memberikan air minum gratis kepada rakyat mereka.
Hanya dari air minum itu saja, pemerintah sudah tidak mampu memenuhi tujuan negara Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan negara. Berdasar alinea keempat Pembukaan UUD 1945:
1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (dari muntaber akibat minum dan masak dari air tidak keruh).
2) Memajukan kesejahteraan umum (sudah cukup maju, tapi masih banyak yang miskin).
Maka, tausiah Firli di atas bagai meluruskan kondisi bangsa kita yang kini melenceng. Marak dengan ujaran kebencian, bermotif politik, meraih kekuasaan.
Walaupun, bagi pelaku ujaran kebencian, tausiah itu bagai debu tertiup angin. Tak berbekas. (*)