KELUARGA terdakwa Irwan Tanaya dan Benny Soewanda menilai tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) tidak masuk akal. Tidak mencerminkan keadilan. Tidak sesuai fakta persidangan. Karena itu, mereka dan tim kuasa hukumnya melaporkan kejadian tersebut ke Kejaksaan Agung.
Laporan itu ditembuskan kepada presiden, Kejati Jatim, Komnas HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kapolri, Komisi III DPR, Ombudsman RI, dan Komisi Yudisial. ”Kami sudah memberikan laporan itu serta bukti-bukti yang kami miliki,” kata Anton, juru bicara penasihat hukum terdakwa, Jumat (28/1).
Menurut Anton, sangat banyak kejanggalan yang terjadi dalam kasus tersebut. Salah satunya, objek perkara yang tidak sesuai antara dakwaan dan tuntutan. Dalam dakwaan disebutkan bahwa pelapor Richard Sutanto merasa rugi setelah kehilangan saham sebanyak 200 lembar. Senilai Rp 200 juta.
Hanya, dalam tuntutan, pokok perkara itu tidak menjadi bahan pertimbangan jaksa. Malah, yang menjadi salah satu poin memberatkan adalah perbuatan kedua terdakwa itu berpotensi membuat gaji Richard Rp 58 juta tidak dibayar. Pelapor juga disebutkan kehilangan dua merek yang dijual ke pihak ketiga.
Padahal, secara fakta hukum, dalam akta pendirian PT Hobi Abadi Internasional (HAI), tidak ada kesepakatan Richard sebagai komisaris yang diberi gaji.
Pun, dalam berita acara pemeriksaan (BAP) di kepolisian dan dalam dakwaan jaksa, saksi pelapor tidak pernah menyinggung kehilangan gaji tersebut. ”Tapi, tiba-tiba dalam tuntutan, poin itu muncul. Ada apa ini?” tanyanya.
Kata ”berpotensi” itu, menurut Anton, juga tidak boleh dipakai dalam hukum pidana. Apalagi untuk menuntut terdakwa. Sebab, kata tersebut ditafsirkan menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty).
”Kalau dalam hukum pidana itu kan harus memberikan kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan hukum. Hal ini berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016,” tambahnya.
Malah, dalam fakta persidangan, Richard saat dihadirkan sebagai saksi korban membantah semua dakwaan JPU. Bahkan, ia mengatakan saat itu tidak mengetahui isi dakwaan tersebut. Karena itu, Anton menilai dakwaan jaksa kabur alias obscuur libel.
”Dari sini saja kita bisa melihat, apa yang mau disidangkan. Sementara, pelapor sendiri tidak mengakui dakwaan jaksa,” tegasnya.
Juga, dalam persidangan, pelapor tidak bisa membuktikan semua keterangannya. Itu terbukti saat ditanya terkait besaran kerugian yang dialami.
Selain itu, di BAP para saksi banyak kejanggalan. Semua sama. Mulai kalimat hingga penempatan tanda baca. Parahnya, salah seorang saksi dalam persidangan sempat mencabut BAP-nya.
Sebab, saksi itu merasa tidak pernah dimintai keterangan. Ia hanya diberi kertas kosong untuk ditandatangani. Paraf dalam BAP itu juga dibantah saksi tersebut. ”Kasus ini hanya rekayasa. Klien kami ini dipidanakan,” ucapnya.
Semua kejanggalan itu sudah dituangkan dalam pleidoi dalam persidangan Rabu (26/1). Kemarin (28/1) sebenarnya agenda replik (jawaban jaksa atas pleidoi). Seharusnya sidang itu dilaksanakan pukul 09.30.
”Sempat diundur jam 10.00. Kami tungguin, tapi jaksanya gak datang-datang. Padahal, kami sudah melapor ke panitera pengganti. Kami sudah siap semua. Tapi, sebelum salat Jumat, kami pulang. Karena beberapa dari kami akan menjalankan ibadah,” ungkapnya. (Michael Fredy Yacob)