Menggoreng Minyak Goreng

Senin 31-01-2022,04:00 WIB
Editor : Redaksi DBL Indonesia

MINYAK goreng masih bikin resah. Di berbagai tempat masih terdapat keluhan terhadap kelangkaan minyak nabati yang sangat dibutuhkan ibu-ibu di dapur itu.

Problemnya sudah bukan lagi soal harga. Tapi pembatasan pembelian minyak goreng. Yang masih terjadi di mana-mana. Pasca keputusan politik harga tunggal Rp 14 ribu per liter.

Keputusan yang disepakati dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR itu hanya berumur seminggu. Ternyata tidak efektif. Harga kemasan minyak goreng memang sesuai yang dipatok. Tapi belinya dibatasi.

Juga harga tunggal itu tidak adil. Semua dapat subsidi. Yang premium maupun yang kemasan biasa 1 liter. Ini jelas tidak sesuai sasaran. Masak yang kaya dan miskin di subsidi?

Seperti harga bensin atau BBM dulu. Ratusan triliun rupiah setiap tahun dibakar di jalanan. Sehingga tidak bisa bangun jalan tol. Bertahun-tahun panjang jalan tol tak bisa bertambah.

Problem kita selama ini masih soal tata kelola subsidi. Termasuk subsidi kepada emak-emak karena harga minyak mentah sawit (CPO) yang melonjak sampai empat kali lipat dari harga normal.

Kenaikan minyak goreng kali ini bukan karena kelangkaan stok. Soal stok, Indonesia kini jawara satu dunia sebagai produsen sawit. Malaysia yang posisi kedua hanya separonya Indonesia.

Total produksi minyak mentah sawit kita kini 49 juta ton. Kebutuhan konsumsi minyak goreng hanya 8 juta ton. Tahun ini, total produksi sawit diramal akan meningkat lagi.

Tapi ya itu tadi. Karena harga sawit kita mengikuti standar harga internasional, maka harga dalam negeri juga ikut terkerek. Ini wajar. Petani dan pengusaha sawit yang tertimpa durian runtuh. Bukan hanya pengusaha batu bara.

Lalu kalau emak-emak ngamuk karena tak bisa menggoreng tempe, tahu dan pisang goreng bagaimana? Inilah yang kemudian memaksa pemerintah turun tangan. Menggelontorkan subsidi.

Untung saja, selain pajak ekspor, pemerintah juga terapkan pungutan untuk eksporter sawit. Yang dananya dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Mereka mengelola CPO Supporting Fund (CSF). Dana untuk pendukung program pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan.

Saya tidak tahu berapa dana yang telah berhasil dihimpun. Tapi jumlahnya sudah cukup banyak. Bisa juga digunakan untuk stabilisasi harga minyak goreng dalam negeri. Agar lebih terjangkau. Tak membuat emak-emak menjerit.

Sebagai minyak goreng nabati, pesaing minyak sawit adalah minyak goreng dari kedelai (soya), kanola, zaitun, minyak kelapa, kapas, dan jagung. "Dari semua itu secara harga minyak sawit paling murah," kata Ketua Bidang Komunikasi GAPKI Tofan Mahdi.

Baginya, sawit ini merupakan berkah bagi Indonesia. Sekarang, inilah satu-satunya komoditas dari Indonesia yang menjadi jawara dunia. Jauh mengalahkan kedigdayaan bulu tangkis. Apalagi sepak bola.

Tapi apa artinya kalau juara dunia tapi emak-emak pada resah? Maka harus ada kebijakan yang menyeimbangkan antara harga minyak internasional dan minyak untuk kebutuhan dapur dan bahan baku dagangan gorengan banyak orang.

Tags :
Kategori :

Terkait