Dua jurus sekaligus diterapkan pemerintah. Memberlakukan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) untuk sawit. Ini seperti jurus yang diberlakukan ke batu bara untuk menjaga agar listrik dalam negeri tidak padam.
Kedua, dengan menetapkan HET (Harga Eceran Tetap) minyak goreng. Menetapkan harga minyak curah dan harga minyak premium kemasan. Tidak menjadi harga tunggal seperti yang ditetapkan sebelumnya bersama DPR RI.
Tapi akankah kebijakan baru ini efektif dalam menjaga stabilitas harga minyak goreng? Hampir bisa dipastikan. Pelanggaran HET serngkali menjadi momok bagi pelaku. Sebab, bisa berurusan dengan aparat penegak hukum.
Namun, tampaknya tidak hanya harga yang harus dipatok. Yang juga penting adalah tata kelola distribusi minyak goreng. Tata kelola perdagangan dengan perhitungan yang lebih cerdas dan cantas.
Perilaku konsumen minyak goreng sebetulnya lebih gampang diprediksi. Setiap ada hari raya keagamaan permintaan selalu meningkat. Pada saat itulah biasanya harga juga terkerek naik. Hanya ini naik karena hukum pasar. Bukan karena bahan baku.
Kita sudah terlalu lama mengabaikan kebiasaan-kebiasaan pasar seperti ini. Padahal, pasar komoditas punya perilakunya sendiri. Yang bisa dibaca kebiasaannya. Yang bisa diantisipasi.
Tapi apakah dua jurus pemerintah agar emak-emak ini tidak kepanasan? Tampaknya tidak cukup hanya dengan DMO, DPO, dan penetapan HET. Juga perlu penataan distribusi minyak goreng.
Kebutuhan emak-emak bukan hanya harga yang terjangkau. Tapi juga minyak goreng gampang di dapat. Tidak lagi ada pembatasan-pembatasan jumlah dalam pembelian.
Ati-ati kalau emak-emak berteriak! (*)