Malioboro Sultan

Selasa 08-02-2022,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

ADA suasana baru di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Jalan utama yang menjadi titik pandang sampai Gunung Merapi itu kini makin nyaman.

Nyaman untuk jalan-jalan. Nyaman untuk kongko. Nyaman untuk cuci mata. Tak lagi terganggu hiruk pikuk yang selama ini membikin ruwet jalur pedestrian sepanjang jalan itu.

Saya perlu memberikan acungan jempol kepada Sultan Hamengkubuwono X. Raja Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sekaligus gubernur DIY. Yang punya ide dan melaksanakan penataan kawasan Malioboro.

Penataan Malioboro memang menjadi program Sultan. Bukan program Pemkot Yogyakarta. Termasuk penataan kios sepatu yang memenuhi Jalan Mataram, samping Jalan Malioboro.

Kini para pedagang dipindah di bekas Kantor Pariwisata DIY. Yang dibangun seperti los pasar. Dengan nama Teras Malioboro. Sebagian lagi direlokasi di bekas Gedung Bioskop Indra. Di samping utara Gedung Agung.

Sebelum ini, sepanjang jalan legendaris di kota itu juga telah ditata fisiknya. Jalur pedestriannya dibangun sepanjang jalan. Juga, taman-tamannya. Sejumlah kursi taman dipasang di sepanjang jalan.

SEJUMLAH kursi taman dipasang di sepanjang trotoar Jalan Malioboro. (Foto: Tjahjani Retno Wilis)

Sudah sejak lama saya enggan jalan di Malioboro. Karena macetnya. Karena kumuhnya. Karena ribetnya. Sepanjang jalan itu sudah sejak lama penuh PKL batik. Kanan dan kiri jalan.

Setiap kali ke Yogyakarta, saya lebih sering menghindari jalan tersebut. Jalan legendaris yang juga menjadi jalan ikonik di kota budaya itu. Kalaupun terpaksa lewat itu pada malam hari. Di saat Yogyakarta sudah mulai sepi lalu lintas di jalan.

Saya yakin banyak orang seperti saya. Kecuali para wisatawan yang menjadikan Malioboro sebagai destinasi utama. Yang menganggap belum ke Yogyakarta jika belum foto di jalan yang juga ada Pasar Beringharjo yang terkenal itu.

Para pemilik toko di sepanjang jalan tersebut pasti juga sudah lama berkeluh kesah. Yang tokonya kalah selangkah lebih maju jika dibandingkan dengan PKL yang berjualan di sepanjang jalan tersebut.

Seperti halnya keluhan pemilik rumah di Jalan Kapasan, Surabaya, 15 tahun lalu. Ketika jalan itu dipenuhi pedagang kaki lima siang dan malam. Mulai dagangan barang bekas sampai pakaian bekas impor.

Pemilik rumah di sepanjang Jalan Kapasan saat itu juga tak berdaya. Kalah oleh para pedagang. Bahkan, untuk keluar masuk rumahnya sendiri bisa kena bentak pedagang yang menempati depan rumahnya tanpa sewa.

”Sampean mau masuk atau keluar. Jangan keluar masuk. Ganggu dagangan saya.” Seringkali pemilik rumah kena ujaran demikian dari para pedagang liar tapi resmi itu.

Liar tapi resmi? Mereka liar menempati jalan dan akses properti pribadi pemilik rumah. Namun, pedagang itu biasanya merasa resmi karena telah membayar ke oknum. Atau kepanjangan oknum.

Tags :
Kategori :

Terkait