PERJUANGAN penghuni tanah surat ijo Surabaya berlanjut. Setelah menempuh jalur diplomasi ke Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Forum Analisis Surabaya (Fasis) mengadu ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM).
Surat itu dikirim 11 Februari lalu. Mereka mengadukan penarikan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) atas salah satu tanah surat ijo. ”Anehnya, notaris justru menerbitkan akta jual beli atas tanah sewaan itu. Yang diakui aset pemkot,” ujar Ketum Fasis Saleh Alhasni kemarin (13/2).
Ia merujuk Pasal 86 ayat 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. BPHTB dikenakan bagi subjek pajak yang memiliki hak atas tanah sebagaimana diatur di Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sedangkan tanah surat ijo diklaim adalah aset pemkot dan digunakan warga dengan sistem retribusi.
Kepemilikan surat ijo memang masih menjadi perdebatan panjang. Sebagian besar tanah yang dikuasai pemkot tersebut berasal dari SK hak pengelolaan lahan (HPL). Pemkot belum memiliki sertifikat tanah itu.
Nah, warga meminta UUPA ditegakkan. Tanah negara yang sudah ditempati warga puluhan tahun seharusnya menjadi hak warga. Warga surat ijo merasa lebih berhak atas tanah itu ketimbang pemkot.
Makanya, warga sampai berani memboikot pembayaran retribusi. Jumlahnya tidak main-main: separuh dari 48 ribu persil tanah surat ijo yang disewakan.
Kementerian ATR/BPN sudah dilibatkan berkali-kali. Arah kebijakannya, tanah itu akan diserahkan ke warga. Dengan begitu, konflik antara warga dan pemkot bisa dituntaskan. Sayangnya, gerakan dari Kementerian ATR/BPN belum terlihat.
Seluruh tanah surat ijo sejatinya akan diverifikasi ulang. Pemkot akan mendapatkan tanah yang sudah bersertifikat. Sementara itu, yang masih berstatus tanah negara dengan HPL bakal diserahkan ke warga.
”Apa ada peraturan BPHTB hanya berlaku untuk bangunan?” tanya Saleh. Menurutnya, jual beli tersebut baru bisa lancar apabila status tanah surat ijo sudah jelas.
Warga sebenarnya bisa membeli tanah surat ijo itu ke pemkot. Namun, sampai sekarang belum ada yang mau menebusnya. Penetapan harganya sesuai nilai appraisal. Artinya, warga harus membeli rumahnya sendiri dengan harga pasar.
Wali Kota Eri Cahyadi sudah melimpahkan persoalan itu ke pemerintah pusat. Ia siap melepas tanah surat ijo asal ada payung hukum yang kuat dari pusat. Tanpa aturan itu, masalah surat ijo hanya jadi komoditas politik setiap pemilihan wali kota berikutnya. (Salman Muhiddin)