Politik Langitan NU

Selasa 15-02-2022,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

Apakah berarti NU tak berpolitik? Pasti tidak. Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU tak bisa terbebas dari tarikan-tarikan politik. Namun, tidak berarti ia secara kelembagaan harus masuk ke salah satu golongan maupun kelompok politik.

Ibaratnya, kalaupun harus memasuki gelanggang politik, NU akan bermain di level high politic alias politik langitan. Memengaruhi kebijakan dan merangkul berbagai kelompok serta golongan politik untuk kepentingan bangsa. Untuk peradaban dan kemanusiaan.

Karena itulah, NU tak ingin hanya menjadi milik PKB. Meski, KH Cholil Bisri –ayah Ketum PBNU kini– salah seorang penggagas dan deklator PKB. Meski, Yahya Cholil Staquf juga ikut andil mendirikan partai politik itu. NU kini menjadi rumah besar bagi semuanya. Para pencinta bangsa Indonesia.

Tentu dengan reposisi political standing NU itu, PKB sedikit banyak dirugikan. Ia tak lagi bisa mendompleng NU secara kelembagaan. Tapi, irisan kepentingan dan budaya yang dibawa PKB masih mempunyai ruang untuk menggarap jamaah NU.

Di situlah ujian bagi Ketum PKB A. Muhaimin Iskandar. Pengendali tunggal PKB setelah ia berhasil mengalahkan dominasi pendiri PKB yang juga pamannya sendiri, KH Abdurrahman Wahid. Yang telah hampir dua dekade menjadi nakhoda digdaya partai tersebut.

Apakah ia bisa memanfaatkan ruang yang makin sempit di NU untuk mendapat dukungan politik warga NU? Apakah ”kecerdikan politik” Cak Imin –panggilan akrab Muhaimin Iskandar– bisa meluruhkan seniornya di UGM itu untuk mendukung langkah-langkah politiknya? Apakah justru relasi PKB dan NU secara kelembagaan akan makin renggang?

Rasanya butuh waktu untuk menjawab semua pertanyaan tersebut. Yang sudah pasti, jika Cak Imin lebih mau ”merendah” dengan sowan ke Yahya Cholil Staquf dan minta penugasan, barangkali akan sedikit meredakan ketegangan.

Sebab, inisiatif Cak Imin untuk sowan ke Ketum PBNU akan memberikan sinyal dan simbol bahwa PKB adalah instrumen NU untuk perjuangan politik. Jika tidak, ia secara simbolis menganggap NU adalah instrumen PKB.

Jika terakhir itu yang menjadi pilihan, Cak Imin akan dianggap sebagai ”anak durhaka” bagi kepemimpinan NU yang baru. Anak yang merasa lebih besar daripada orang tua yang melahirkan.

Atau, Cak Imin sudah merasa cukup dengan mengubah branding politiknya menjadi Gus Muhaimin? Branding yang lebih meng-”NU” ketimbang Cak Imin yang abangan. Wallahua’lam bissawab. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait