PEKAN ini media diramaikan pro-kontra aturan baru pencairan manfaat jaminan hari tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan. Itu gara-gara munculnya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang menyebutkan bahwa JHT baru bisa dicairkan saat peserta berusia 56 tahun. Tak terkecuali pekerja yang terkena PHK.
Sontak saja para pekerja keberatan. Sebab, sebelumnya mereka bisa mencairkan JHT kapan saja saat terkena PHK atau mengundurkan diri. Berdasar Permenaker No 19 Tahun 2015, JHT dapat dicairkan secara tunai dan sekaligus setelah masa tunggu sebulan sejak tanggal pengunduran diri atau PHK.
Bagi para pekerja, di tengah pandemi Covid-19 seperti ini, banyak karyawan terkena PHK atau terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaannya. Pencairan JHT yang pada hakikatnya uang milik pekerja sendiri akan bermanfaat untuk menyambung hidup, menyiapkan usaha atau pekerjaan baru. Jadi, JHT benar-benar bisa menjadi dewa penolong di tengah kesulitan.
Karena itu, kemungkinan penolakan terhadap aturan baru tersebut bersifat situasional. Sebab, sebelum Permenaker 19/2015 keluar, sesuai UU, memang JHT deprogram untuk dinikmati para pekerja di hari tua. Menjadi bekal bagi pekerja saat tak lagi bekerja di masa tua. Bahkan, JHT dilengkapi dengan jaminan pensiun yang menjamin pekerja tetap akan memperoleh pendapatan saat pensiun.
JHT memang hanya salah satu program jaminan sosial yang diatur dalam UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Yang lain adalah jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Tujuan JHT sendiri sangat baik. Menjamin peserta menerima uang tunai saat memasuki pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal.
Bukan hanya JHT, UU SJSN juga menyiapkan jaminan pensiun. Tujuannya, mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan penghasilan karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap. Dana pensiun menjamin pendapatan bagi pekerja saat sudah tak lagi bekerja.
Ada beberapa alasan mengapa respons pekerja sangat negatif terhadap ketentuan pencairan JHT setelah usia 56 tahun. Selain karena pandemi, respons negatif disebabkan inkonsistensi peraturan. UU sendiri mengamanatkan pencairan JHT adalah saat memasuki pensiun dan dulu diterima dengan baik oleh pekerja. Namun, muncul Permenaker 19/2015 yang membolehkan pencairan JHT saat di-PHK atau pengunduran diri dari pekerjaan.
Apalagi, Permenaker 2/2022 ini muncul saat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah lagi rendah. Gara-garanya, kasus beberapa asuransi BUMN yang mengalami defisit hingga puluhan triliun. Juga, saat pemerintah kesulitan uang dan terus berutang untuk menutupi defisit APBN.
Selain itu, akhir-akhir ini dana kelola BPJS Ketenagakerjaan terus menurun secara kualitas. Dibolehkannya pencairan JHT sebelum memasuki pensiun menyebabkan klaim JHT sangat besar. Klaim JHT mencapai 70 persen dari pendapatan iuran JHT. Itu mengakibatkan dana kelola JHT yang hakikatnya adalah asuransi tidak bertambah besar secara signifikan.
Pencairan JHT sewaktu-waktu, sesuai Permenaker 19/2015, juga menyulitkan pengelolaan portofolio BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, itu berarti pengelola harus mencadangkan aset yang likuid dalam jumlah besar untuk persiapan pembayaran pencairan JHT sewaktu-waktu. Itu membuat portofolio lebih banyak diletakkan pada deposito atau investasi jangka pendek yang likuid. Akibatnya, pengelola tidak bisa memperoleh return yang tinggi.
JHT dan berbagai program jaminan sosial sebenarnya sangat baik bagi masyarakat. Sebab, saat pemerintah tidak bisa menjamin kehidupan dasar warganya, warga sendiri yang harus menyiapkan. Pemerintah membuat aturan dan menegakkan agar berbagai program jaminan bisa dilaksanakan dengan baik.
JHT tak ubahnya jaminan kesehatan melalui program BPJS Kesehatan. Masyarakat harus masuk dalam program itu. Termasuk warga tak bekerja yang bisa mengikuti program BPJS Kesehatan Mandiri. Dalam hal ini, pemerintah hanya bertindak sebagai koordinator ”asuransi” karena warga membayar sendiri program itu. Hanya warga tidak mampu yang dibayar pemerintah.
JHT, jaminan pensiun, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan kesehatan akan dapat menjamin kehidupan warga. Konsepnya adalah asuransi sosial, di mana peserta membayar iuran. Khusus dalam jaminan kesehatan, iuran bagi warga yang tidak mampu dibayar oleh pemerintah. Dengan sistem jaminan sosial itu, warga akan memperoleh jaminan kehidupan yang baik dari negara meski sebenarnya harus membayar sendiri. (*)
*) Imron Mawardi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga.