Herdian Chandra Irawan tak mau mandek berkreasi dalam menampilkan wayang potehi. Ia bisa menggali inspirasi dari mana saja.
’’MAIN wayang itu mudah. Menggerak-gerakkan bonekanya mudah. Dialognya yang sulit. Cara ngucapkan -nya susah,’’ ujar Herdian Chandra Irawan.
Rabu (16/2) siang itu, di salah satu hotel di dekat Simpang Lima, Semarang, ia membawa tiga boneka wayang potehi. Dua dari Tiongkok. Satu lagi dari Gudo, Jombang. Selama beberapa saat, ia memainkan boneka itu. Menggerakkan tangan-tangan kecil itu. Mengangguk-anggukkan kepalanya.
Herdian memang benar. Menggerakkan boneka wayang potehi terbilang gampang. Jari telunjuk dimasukkan ke kepala, tiga jari untuk menggerakkan lengan boneka, dan ibu jari menggerakkan lengan boneka yang lain. Sudah. Begitu saja. Lalu digerak-gerakkan.
Tentu, semakin mahir dalang, gerakan-gerakan boneka pun akan menjadi semakin kaya. Semakin detail.
Nah, yang sukar adalah pengucapan siu lam pek (suluk), dialog-dialog baku untuk mengawali adegan. Suluk itu, aslinya, memakai bahasa Hokkian. Tetapi, karena berganti-ganti generasi, siu lam pek itu akhirnya berubah-ubah bunyinya. Jarang ada yang asli seperti bahasa orang-orang di Fujian, Tiongkok, itu.
’’Makanya, biar lebih dekat ke penonton, cerita wayang potehi pun harus berkembang,’’ ujar lelaki kelahiran Januari 1970 tersebut.
Dalam cerita-cerita baku, wayang potehi mengangkat kisah kepahlawanan era kekaisaran Tiongkok. Misalnya, Sie Jin Kwie. Atau petualangan Sun Go Kong. Kisah-kisah populer semacam Sampek-Engtay pun bisa ditampilkan.
Saat kali pertama tampil sekitar enam tahun silam, Herdian membawakan lakon yang diambilnya dari film Saving General Yang . Film ini dirilis di Hong Kong pada 2013. Pemainnya antara lain Adam Cheng, Vic Zhou, dan Raymond Lam.
Saving General Yang berlatar belakang sejarah Tiongkok pada abad ke-10. Ceritanya tentang seorang jenderal dari keluarga Yang yang diculik oleh tentara Khittan. Tujuh anak Jenderal Yang pun bertekad untuk menyelamatkan sang ayah dari penculik itu. Sebelum anak-anak itu berangkat, She Saihua, istri Jenderal Yang, minta petunjuk seorang pertapa peramal. Wejangannya membikin bulu kuduk merinding: tujuh anak berangkat, pulang enam …
Selebihnya, Anda bisa tonton sendiri film itu…
Poster film Saving General Yang.Apa tanggapan orang-orang yang menonton pergelaran wayang potehi Herdian itu? Ternyata banyak yang komplain. ’’Saya dibilang merusak pakem, lah . Mengacaukan cerita, lah . Mengacaukan bagaimana? Wong memang saya membuat cerita berdasar kisah itu. Mengacaukan itu kan kalau saya ambil cerita dari pakem, terus ceritanya saya awur ,’’ tutur bapak dua anak itu.
Meski anak seorang dalang kondang, Herdian sama sekali tidak mau disejajarkan dengan sang ayah yang ilmunya sudah sangat mumpuni. Maka, sampai sekarang pun ia tak mau menyebut nominal honornya. ’’Kualitas saya ndak sepadan sama Papa. Saya ini masih belajar terus,’’ ucapnya.
Dari mana Herdian belajar? ’’Dari Google dan YouTube ,’’ katanya.
Tentu, itu tidak salah. Belajar bisa dari mana pun. Herdian juga terus membuka diri. Sambil tampil sambil belajar. Sambil latihan, sambil cari ilmu. Terlebih, ia kerap latihan secara terbuka di halaman kelenteng. ’’Semua orang bisa lihat. Nyoba . Sambil diskusi,’’ ceritanya.
Herdian memang harus belajar sendiri. Thio Tiong Gie, sang ayah, tidak sempat mengajarinya bermain wayang. Bahkan sempat melarang. Tidak hanya itu, Herdian bahkan harus mengumpulkan sendiri wayang potehi. Satu per satu. Sebab, boneka-boneka milik Thio Tiong Gie sudah lenyap. Menurut Herdian, ada orang yang menguasainya secara sepihak. Padahal, orang itu sudah dianggap anak angkat oleh Thio Tiong Gie.