Berharap Dukungan Sponsor

Jumat 25-02-2022,09:39 WIB
Editor : Heti Palestina Yunani

Sebenarnya ada rasa berat di hati Djadi Galajapo untuk menjual padepokan. Sebab telah sekian lama tempat itu menjadi sarana jagongan budaya, belajar agama, dan menyebarkan Islam.

Pada 2004, Djadi menjadi pemandu acara peresmian Museum NU di Jakarta. Hadir Presiden Gus Dur yang juga tokoh NU. Melihat idolanya, Djadi meminta izin lewat Choirul Anam, ketua panitia, untuk didoakan. Agar kariernya sebagai pelawak dapat berjalan lancar sesuai tuntunan agama.

Ketika Gus Dur sedang senggang, Djadi pun mengungkapkan niatnya. ”Gus, saya ingin meminta doa njenengan agar saya menjadi pelawak yang kompeten,” katanya. Gus Dur menoleh. ”O begitu,” ujarnya, lantas tersenyum.

Bukannya mendoakan namun Gus Dur melempar ungkapan. ”Sesama setan dilarang saling melempar,” katanya kepada Djadi, penuh teka teki. Djadi bingung karena permohonan doanya malah dijawab demikian.

Djadi pun kembali berujar. ”Dhawuh, Gus. Saya minta doanya,” ungkap Djadi, memohon. Gus Dur menoleh lagi. Ia tersenyum sambil mengulang kata-katanya.

Lho yo wis iku dungone,” sambung Gus Dur sambil memegang tongkatnya. Lalu tertawa.

Djadi Galajapo mendengarkan perkataan idolanya, Gus Dur, dengan jarak yang sangat dekat saat bertemu pada 2004.

Setelah pertemuan itu, Djadi mengaku tidak bisa tidur selama tujuh hari. Ia merenungkan kata-kata Gus Dur untuk mengurai maknanya.

Baru pada hari ketujuh Djadi menemukan artinya. Bila menjadi pelawak, jangan melontarkan dark jokes. Jangan membuat lawakan yang menjatuhkan orang lain atau menertawakan keburukan orang lain. Karena setiap orang itu pada hakikatnya tak lepas dari dosa.

”Termasuk pelawak. Dosa adalah sisi setan atau keburukan manusia. Jangan menertawakan keburukan orang lain. Sementara diri kita sendiri masih tak lepas dari dosa,” ujarnya.

Djadi menerapkan pesan Gus Dur itu. Dalam lawakan yang berunsur ”Humor”. Singkatan dari Humanis, MOralis dan Religius. ”Menjadi pelawak harus terikat dengan tuntunan moral dan iman. Menyebarkan kebaikan agama maupun keteladanan dalam tiap perilakunya. Sebab pelawak adalah public figure yang diikuti banyak orang,” terangnya.

Nilai-nilai kemanusiaan dan pluralisme ala Gus Dur itu pula yang disebarkannya kepada setiap orang yang datang ke padepokan. Dikemas dalam singkatan yang dibuat Djadi sendiri yaitu Islam adalah Indah, Sabar, Lembut, Adil dan Mendamaikan.

”Apalagi pada zaman sekarang, ketika agama menjadi bom yang murah dan ampuh untuk menghancurkan peradaban, saya tergerak untuk mengembalikan posisi agama, khususnya Islam sebagai agama rahmatan lil alamin,” ujar pria 56 tahun itu.

Atas temuan istilah itu, Lembaga Prestasi Indonesia-Dunia, memberi piagam kepada Djadi. Kalangan NU juga merestuinya untuk mengembangkan dan menyebarluaskan singkatan itu. ”Saya tak berhenti membumikan Islam ramah ke mana-mana dari padepokan,” ungkapnya.

Sayang saat pandemi yang belum usai, Djadi merasakan kesulitan ekonomi. Minimal ia harus membiayai kegiatan rutin dan mengumrohkan mereka yang ikut membumikan Islam ramah. Belum lagi biaya sehari-hari yang tak sedikit.

Tags :
Kategori :

Terkait