Itulah mengapa keputusannya padepokan dijual. Itu juga demi misinya berkeliling Indonesia dalam rangka membumikan Islam ramah yang digagasnya itu. Seperti status terbukanya di Facebook M Chengho Djadi Galajapo pada tanggal cantik, 22 Februari 2022.
Bismillah saya jual hanya 500 juta saja. Untuk membiayai program tahunan Isok Umroh tahun 2022 dan keliling Indonesia menyebarkan Islam yang: indah sabar lembut adil mendamaikan. Salam ibadah. Indonesia bahagia damai aman harmoni.
Rahayu.
”Kalau laku, yang 300 juta saya belikan mobil besar untuk sarana keliling. Sebagian untuk mengumrohkan orang karena dua tahun iniabsen karena pandemi. Sisanya dicukup-cukupkan untuk membiayai misi,” ungkap ayah dua anak itu.
Nanti, misi Djadi keliling Indonesia itu bertajuk Imam Besar Pelawak Indonesia Keliling Indonesia.
Itu sesuai dengan gelar ”Imam Besar Pelawak Indonesia” yang selama ini dipakainya. Sebagai identitas menebarkan Islam sebagai rahmatan lil alamin dengan metode humor yang sesuai dengan tuntunan iman dan semangat persatuan.
Tentang tajuk misinya, Djadi tak peduli apa kata orang. Budayawan alm Tjuk Kasturi Sukiadi pernah menyebut hal itu sebagai sarkasme tingkat tinggi. ”Tapi itu bentuk dukungan almarhum pada saya. Sebab ada yang bergelar ’Imam Besar’ tapi kelakuan dan lisannya jauh dari nilai-nilai kelembutan Islam,” ujarnya.
Misi Djadi itu diakuinya sangatlah berat. Sebab pengaruh pemahaman Islam yang tekstual dan cenderung konservatif telah merasuk ke beberapa daerah di Indonesia. ”Tapi saya yakin bisa menyadarkan semua orang bahwa jangan memahami agama secara tekstual atau letterlijk (harfiah, Red),” ujarnya.
Jika Islam dipahami betul, baik secara konteks, linguistik, psikologi, hingga antropologi, semua akan menuju pengetahuan yang satu. Bahwa sejatinya Islam adalah agama yang lembut dan penuh kasih sayang.
”Itulah yang selama ini saya dengung-dengungkan di padepokan. Saya pahamkan bahwa puncak dari pengetahuan orang yang mengaku Islam itu adalah kerendahan hati. Siapa pun yang pernah ke padepokan, saya ingatkan itu,” ujarnya.
Untuk mendukung misi besarnya itu, Djadi sebenarnya lebih berharap ada sponsor yang membiayai. Sehingga padepokan tidak sampai dijual. ”Masih ada eman-eman (sayang, Red). Kalau enggak ada ya enggak apa-apa. Toh yang saya akan lakukan sebagai bukti pengabdian pada agama, bangsa, dan kemanusiaan. Semua milik Allah akan kembali pada-Nya,” terangnya.
Rasa eman-eman itu ada karena banyak kegiatan bermanfaat sudah digelar di sana. Sebut saja doa bersama untuk Ahok, merayakan Maulid dengan nonton film, penyaluran tali asih dari Pelangi Club, takbir keliling, dan taddabur alam ke Taman Surya dan Balai Kota Surabaya.
Pernah pula dijadikan tempat pengenalan NU dan Indonesia kepada para santri, donor darah, dan sebagainya. Apalagi masih ada kegiatan TPQ untuk anak-anak di sekitar Kalijudan. Bila padepokan taka da, semua kegiatan akan ia geser ke lantai tiga rumahnya.
”Sudah nawaitu saya harus membaktikan kehidupan ini untuk cinta, harmoni, dan keindahan. Jalannya ya dengan menebar Islam yang ramah,” ungkapnya. ”Tapi yo mugo-mugo gak kedol, rek. Pokoke tak pasrahno kersane Gusti Allah,” sambungnya, buru-buru. (Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas Nugraha/habis)