Punya rindu tak tertahan pada sosok ibunda yang telah empat tahun berpulang, Tri Novita bernyanyi dan menari. Meng-cover Sisa Rasa karya Mahalini. Mewakili rasa kehilangan sekaligus mengenang ketika berada dalam rengkuhan kasih ibu.
Serba hitam tanda duka cita mendalam. Menjejak rumput hijau tanpa alas kaki, merasakan basah sisa hujan bercampur genangan air mata. Ekspresi Tri Novita menunjukkan dalamnya rindu. Ada rasa kehilangan yang teramat sangat.
Badannya menunduk sayu ke belakang, kedua tangan bergerak seakan ingin meraih sesuatu. Direngkuh, dipeluk, tangan kanannya seperti menggenggam sentuhan dari seseorang yang membelai pipinya dengan manja, mengusap rambutnya.
Kembali tubuhnya bergerak sayu, lentur seakan mengikuti embus angin yang bertiup. Sosok imajinatif yang direngkuhnya seperti dilepas perlahan, diikuti ekspresi bimbang. Tak ingin melepaskan, namun di sisi lain Tri harus merelakan. Bahwa sosok yang dirindukannya itu telah tiada.
Tangannya coba menarik. Lagi dan lagi. Tri tak kuasa, lantas menyadari bahwa gerak tubuhnya hanya sebatas mengingat kenangan tentang kebersamaan. Dia dengan iklas meski berat hati, mencoba melepaskan. Dengan tangan terbuka.
Sebenarnya orang lebih mengenal Tri sebagai seniman tari lulusan ISI Yogyakarta. Namun suaranya ternyata menawan. Meski ketika bernyanyi, dia tak terlalu menampilkan teknik vokal yang rumit. Namun penjiwaannya mengena.
Ditambah dengan tarian yang ditunjukkannya dalam video cover, menyanyikan lagu Sisa Rasa yang aslinya dibawakan oleh penyanyi Mahalini.
Meskipun penyanyi profesional, namun dengan memberanikan diri untuk menyanyikan lagu tersebut, dia ingin memberikan yang terbaik untuk ibunya, alm Hj Suheti yang dikenal sebagai seniman tari sekaligus sinden wayang kulit dari Indramayu, Jawa Barat.
Ibunyalah yang mengajarkannya segala hal tentang seni, termasuk mengasah bakatnya dalam menari. Keduanya begitu dekat dan akrab, sehingga saat ibunya berpulang empat tahun lalu, Tri merasa kehilangan.
”Sebagian diri saya rasanya hilang. Saya masih terus mengingat beliau hingga saat ini. Tapi saya harus mencoba iklas. Paling tidak dengan mempersembahkan sebuah karya, ibu bisa tersenyum melihat saya di surga,” ungkap perempuan 31 tahun itu.
Saat memilih lagu, tak ada yang cocok selain Sisa Rasa. ”Lagu itu pas dengan apa yang saya alami. Lagu itu tentang rasa kehilangan. Bagi saya, cocok untuk mengenang kepergian ibu,” ungkapnya.
Sisa Rasa tersebut memiliki struktur lirik bertema kerinduan yang universal. Bisa digunakan untuk mengungkapkan rasa rindu kepada siapa saja. Tak terpaku pada figur atau sosok tertentu. Bahkan cocok untuk dinyanyikan, dalam rangka mengenang masa kecil di kampung halaman, misalnya.
”Seperti sebuah karya seni, jika materinya terselubung atau simbolis, membuat orang berpikir untuk menerka kepada siapa kerinduannya ditujukan. Sisa Rasa menunjukkan hal itu,” ungkap staf KBRI Quito, Ekuador itu.
Pengerjaan lagu itu dilakukan via online dengan para musisi jebolan ISI Yogyakarta. Termasuk menentukan nada dasar, kecepatan ketukan dan sebagainya. Aransemennya digarap oleh M Fazhar Adha, kemudian sample musik dikirim pada Tri di Ekuador. ”Saya tinggal merekam suara berdasarkan sample itu. Tentu sambil berkoordinasi dengan Fazhar. Kalau ada fals, Fazhar yang menegur lewat telepon,” ujarnya.