Nurhayati di Bal-balan Korupsi Desa Citemu

Selasa 01-03-2022,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

"In dubio pro reo" di Indonesia sering digunakan Mahkamah Agung (MA) dalam memutus perkara.

Tertuang dalam Putusan MA No 33 K/MIL/2009. Salah satu pertimbangannya menyebutkan begini:

"Jika terjadi keragu-raguan, apakah terdakwa salah atau tidak, maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa. Yaitu, dibebaskan dari dakwaan. Hal ini sesuai asas in dubio pro reo."

Nurhayati belum terdakwa. Baru tersangka. Yang sudah dicabut lagi.

Tapi, bukankah mustahil, seseorang bersalah (korupsi) dalam suatu perkara korupsi, lalu dia melaporkan orang lain di kasus tersebut kepada polisi? Kan bunuh diri?

Beda dengan, misalnya, beberapa orang ditangkap penyidik dalam satu kasus korupsi. Lantas, salah satu tertangkap mengungkap detail korupsi yang belum diketahui penyidik.

Itu namanya whistle-blower. Peniup peluit. Digambarkan sebagai wasit pertandingan bola, meniup peluit. Tanda ada pelanggaran.

Whistle-blower sudah ditangkap duluan, barulah ”menyanyi”. Demi keringanan hukuman. Sedangkan Nurhayati orang pertama melapor. Sebelum ada perkara hukum.

Mengapa di perkara korupsi penyidik sering keliru menerapkan perintah hukum? Apakah terlalu rumit?

Jawabnya, yang paling tahu adalah penyidik sendiri. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait