PEMPROV Jatim dalam empat hari belakangan gencar menggelontorkan minyak goreng. Puluhan ribu ton didistribusikan secara bergiliran ke 38 kabupaten/kota. Baik minyak goreng kemasan maupun curah.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa memastikan stok minyak goreng (migor) di Jatim aman. Bahkan, hingga Ramadan mendatang. Masih ada sekitar 1,7 juta liter migor dalam proses pengemasan. Begitu selesai, bakal langsung didistribusikan ke berbagai daerah.
Migor dalam bentuk kemasan premium diberangkatkan langsung dari Gedung Negara Grahadi Surabaya. Sedangkan migor curah diarahkan ke sejumlah pasar-pasar tradisional di seluruh daerah Jatim.
”Total tiga hari terakhir sudah 2,7 juta liter minyak goreng yang digelontorkan,” kata mantan menteri sosial itu saat meninjau operasi pasar di Kraksaan, Probolinggo, kemarin (6/3).
Operasi pasar itu dilakukan untuk mengatasi kelangkaan migor. Juga, mengantisipasi para pedagang nakal yang mematok di atas harga eceran tertinggi (HET).
Seluruh upaya pemenuhan kebutuhan migor itu tidak dilakukan Pemprov Jatim sendiri. Tetapi, bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan dan beberapa instansi. Misalnya, Asosiasi Pengemas Minyak Goreng Indonesia (APMGI) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia.
”Kita terus minta Kemendag untuk melakukan pendampingan. Juga, koordinasi dengan pabrik minyak goreng,” jelas Khofifah. Pada operasi pasar itu, migor kemasan dijual per 2 liter seharga Rp 25.000. Setiap orang hanya dijatah 2 liter.
Namun, harga migor di beberapa daerah belum stabil. Meski, sudah ada penggelontoran migor dalam jumlah banyak. Masih belum merata.
Berdasar data dari Siskaperbapo Jatim per kemarin, harga migor di 27 daerah masih di atas HET. Bahkan, di tiga kabupaten, yakni Sumenep, Nganjuk, Trenggalek, harga migor mencapai Rp 19.000 per liter.
Begitu juga di Pasuruan, Ngawi, Lumajang, Mojokerto, dan Bangkalan. Tertera Rp 17.000 per liter. Bahkan, salah seorang warga Lumajang, Khomsiah, mendapat harga Rp 20.000 per liter. ”Harganya belum berubah di toko-toko di pasar. Ya, sudah semingguan ini,” katanyi. (Mohamad Nur Khotib)