Panah Tjokro

Selasa 08-03-2022,04:00 WIB
Reporter : Arif Afandi
Editor : Yusuf M. Ridho

ENTAH berapa banyak orang yang tahu tentang pentingnya Surabaya bagi Indonesia. Sampai sekarang, orang lebih mengenalnya sebagai Kota Pahlawan.

Padahal, kota ini menjadi kawah candradimuka para pemimpin bangsa. Tempat mendidik mereka yang melahirkan bangsa ini. Dengan guru tunggal: HOS Tjokroaminoto.

Tiga pemimpin yang tetap mewarnai percaturan politik sekarang dididik di sini. Mereka semua berguru ke guru yang sama. Bapak organisasi pertama di bumi Nusantara.

Siapa mereka: Soekarno, Kartosuwiryo, dan Muso. Soekarno berideologi nasionalis, Muso Alaidid sosialis, dan Kartosuwiryo islamis. Jejak pergulatan ketiga orang ini masih hidup hingga sekarang.

Gerakan ketiga murid Tjokroaminoto tersebut tetap mewarnai dinamika politik di Indonesia hingga kini. Setidaknya idiom-idiom ideologi produk ketiganya masih muncul dalam setiap wacana dan gerakan politik Indonesia.

Ibaratnya, Tjokroaminoto melepas tiga anak panah, lesatan panahnya masih bergentayangan hingga sekarang. Dalam bentuk ideologi yang diikuti banyak orang: nasionalisme, sosialisme, dan islamisme.

Soekarno, Muso Alaidid, dan Kartosuwiryo adalah anak panahnya. Tjokroaminoto sebagai pemegang busurnya. Ia melepaskan tiga anak panah itu dengan spirit perubahan. Dari spirit perlawanan terhadap kekuasaan Belanda pada saat itu.

Kapan anak panah itu berhenti melesat dalam ruang baru yang bermana Indonesia? Saya tak tahu pasti. Sebab, anak panah itu sudah beranak pinak menjadi anak panah-anak panah baru dalam berbagai bentuk.

Ia berkembang menjadi berbagai varian isme baru yang bertarung dalam ruang negara yang sama. Nasionalisme mewujud dalam berbagai bentuk. Demikian juga gerakan sosialis dan islamis.

Malah, anak panah itu menjadi identitas dalam percaturan politik praktis. Yang justru menjadi baju kebesaran dalam setiap berbagai tindak dan gerak politiknya. Itulah yang terus menjadikan dialektika anak panah Tjokro dalam Indonesia kekinian tak pernah berakhir.

Saya yakin, Tjokroaminoto melepaskan tiga anak panah itu bukan tanpa tujuan. Bukan tanpa ujung sasaran. Ia mendidik para kader pergerakan untuk merespons penjajahan Belanda.

Ia melawan dengan cara modern. Membentuk organisasi. Mulai Sarekat Dagang Islam (SDI) sampai Sarekat Islam. Ia membangun kesadaran berorganisasi untuk sebuah tujuan yang mulia.

Setelah itu, barulah lahir berbagai organisasi sosial keagamaan yang jejaknya sangat menentukan keberadaan bangsa ini. Misalnya, Muhammadiyah yang lahir 1911 dan NU di tahun 1926.

Bisa disebut, Tjokroaminoto melahirkan tokoh pergerakan yang mewarnai dinamika politik Indonesia sampai kini. Sedangkan KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari melahirkan penggerak sosial keagamaan yang menjadi tiang utama bangsa hingga sekarang.

Pertanyaannya, mengapa Surabaya yang menjadi pusat gerakan zaman dulu belum melahirkan kembali tokoh-tokoh besar lagi? Mungkinkah lahir tokoh bapak bangsa dari Surabaya ke depan?

Tags :
Kategori :

Terkait