Panah Tjokro

Selasa 08-03-2022,04:00 WIB
Reporter : Arif Afandi
Editor : Yusuf M. Ridho

Sebetulnya pasca kemerdekaan masih banyak tokoh dari Surabaya. Tidak melulu di bidang politik. Tapi, di dunia kreatif. Penyanyi, seniman, dan teknokrat. Namun, belum sampai sedalam jejaknya seperti Tjokroaminoto.

Malah sering kali memunculkan orang terkenal ”pengusaha” yang menjadi dalang penyimpangan. Seperti dalang megakorupsi atau kasus besar lain terkait prostitusi. Yang ”mencoreng” nama besar Surabaya sebagai kota gerakan.

Struktur sosial Surabaya tetap mencukupi untuk melahirkan tokoh-tokoh besar yang meng-Indonesia. Sebab, kota ini masih memiliki adonan sosial yang terbuka, beragam, dan berkarakter kuat.

Hanya, ruang publik untuk menggembleng spirit gerakan rasanya makin sempit. Tjokroaminoto menjadikan rumahnya tempat kos untuk mendidik kader. Yang setiap hari melakukan perenungan tanpa henti.

Masihkah ruang seperti itu ada di masa kini? Tentu jangan bayangkan ruang seperti ketika Tjokroaminoto mendidik kader-kader pergerakan. Tentu tidak. Ruang yang sesuai dengan konteks sekarang.

Yang penting adalah ruang yang memantik setiap orang merenung untuk keadaan zaman sekarang dan masa depan. Ruang atau ekosistem yang mendorong setiap orang untuk terus berpikir dan tak berhenti hanya mencari makan.

Tentu ruang itu bukan hanya bentuk taman. Bukan hanya berupa keindahan kota. Tapi, keindahan lain yang mendorong warga untuk selalu ingin berubah. Selalu moving forward. Gereget untuk selalu ingin memperbaiki keadaan.

Sejarah pada dasarnya bukan hanya untuk dikenang. Sejarah perlu menjadi spirit dan titik tolak untuk berbuat lebih besar. Sejarah bukan untuk dibanggakan. Tapi, untuk mendorong generasi berikutnya menciptakan sejarah baru.

Setelah sejarah kepeloporan dalam gerakan dan kepahlawanan, apa sejarah Surabaya yang bisa ditorehkan sekarang? Perlu busur dan anak panah baru di Surabaya. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait