Beberapa tahun lalu Bernadette Godeliva Fabiola Natasha terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya sendiri. Justru dari situlah lahirlah buku berjudul Puja. Peluncurannya pada 11 Maret bersamaan dengan pameran foto bertajuk sama.
Siapa saya, siapa mereka, mengapa kami berjumpa, mengapa saya dihadirkan sebagai seorang Fabiola. Sederetan pertanyaan itu berkecamuk dalam diri Fabiola. Diakuinya itu datang dari berbagai peristiwa yang membawa pada luka batin.
Bukan sebuah kekecewaan namun lebih pada keingintahuan apa makna dirinya sebagai seorang Fabiola. Pada awalnya jawaban atas pertanyaan tersebut tidak pernah ada yang memuaskan Fabiola. Dia punya cara menuangkannya yaitu dengan melukis.
Hingga dalam pencarian tersebut, suatu ketika Fabiola melihat tayangan tentang bhiksu yang menggambar mandala selama berbulan-bulan. Namun ketika mandala tersebut tercipta malah ia menghancurkannya dalam sekian detik.
”Tentu saja saya sangat terkejut. Mengapa dia melakukannya? Belakangan saya memaknainya bahwa everything is nothing,” katanya.
Berikutnya Fabiola membaca tentang filosofi Wabi Sabi bahwa dalam ketidaksempurnaan ada sebuah keindahan. Demikian juga saat mulai memahami konsep Enso.
Bahwa bukan sekadar lingkaran namun simbol keanggunan dan kekuatan alam semesta serta kekosongan mutlaku ntuk mencapai tingkat meditasi dan pencerahan tertinggi atau enlightenment atau yang disebut Satori.
Untuk dapat membuat Enso maka diperlukan pikiran yang tidak lagi terikat pada tubuh dan roh.
Jawaban-jawaban inilah pada akhirnya membuat Fabiola belajar untuk lebih memahami makna kehidupan dan menghargai dunia seisinya. Termasuk pula belajar memaafkan. ”Lalu jadilah buku ini,” terangnya.
Sebelum menjadi buku, sebagai pelukis, ide itu sebenarnya ingin diwujudkan Fabiola dalam karya lukis. Namun pada 2021 Fabiola mengikuti PannaFoto Future Talent: One-Year Mentorship 2022. ”Saya pikir mengapa enggak jadi medium foto saja. Jadilah Puja,” katanya.
Ada 26 karya foto yang dibuat Fabiola dari hasil pengamatannya pada hal-hal sepele di sekitarnya. Berikut 8 haiku. Beberapa karya akan terdapat animasi yang diletakkan dalam aplikasi augmented reality yang diwujudkan atas kerja sama dengan aplikasi karya anak-anak Surabaya yaitu Aryanna.
Sebagai buku foto, Fabiola ternyata justru tidak ingin bukunya disebut demikian. ”Saya kok lebih sreg menyebutnya diary ya. Seperti yang popular saat zaman jadul sebelum ada gadget. Sebab buku ini seperti catatan pribadi setiap orang,” katanya.