Dalam sebuah peperangan, yang menderita adalah warga sipil yang sejatinya tak tahu apa-apa. Tidak ada kejayaan dalam perang. Sebab, yang ada adalah kekalahan. Yang yang kalah itu adalah kemanusiaan.
LELAKI berusia sekitar 30 tahun itu menangis tersedu-sedu. Di depannya ada tubuh ayahnya. Kaku. Tanpa nyawa. ’’Aku sudah menyuruhnya menyingkir,’’ kata lelaki tersebut. Sebuah mobil yang tak berbentuk ada di dekatnya. Sementara itu, di seberang jalan, seorang perempuan histeris. Mulutnya mengeluarkan sumpah serapah yang disemburkannya ke arah langit musim dingin yang kelabu.
Itulah suasana kota Chuguiv, sisi timur Ukraina, yang mepet dengan perbatasan Rusia, akhir Februari. Kemarin, bukan jam weker yang membangunkan warga kota itu. Bukan pula kokok ayam jantan. Warga Chuguiv mendapat ’’ucapan selamat pagi’’ dari misil Rusia.
Kawah berdiameter lima meter terbentuk oleh ledakan misil. Kawasan perumahan itu porak-poranda. Pemadam kebakaran bersicepat berjuang memadamkan api. Beberapa rumah hancur. Kaca jendela lenyap menjadi butiran-butiran kecil.
Sergiy, lelaki berumur 67 tahun, menutup jendela rumahnya yang rusak dengan kaki meja buatan IKEA. Wajahnya penuh luka goresan. Tapi tak mengapa, katanya. ’’Aku akan tetap tinggal di sini. Ada putri saya di Kyiv, dan suasana di sana tak jauh beda,’’ katanya seperti dikutip Agence France-Presse .
Sergiy sudah sadar bahwa kotanya memang rawan. Dekat dengan perbatasan Rusia. Dan Vladimir Putin juga mengincar bandara militer di Kharkiv, sekitar 40 kilometer di utara Chuguiv.
Di Mariupol, kota pelabuhan di tenggara Ukraina, warga diungsikan pakai kereta. Kota itu memang kerap bergolak selama ini. Di sana ada separatis yang disokong Rusia. ’’Di sini menjadi sasaran artileri berat,’’ ucap Alexiy Babchenko, pejabat setempat.
Suasana ibu kota, Kyiv, tak jauh berbeda. Warga panik. Antrean mengular di depan ATM, apotek, dan toko bahan makanan. Pom bensin diserbu warga. Mereka ingin mengungsi sejauh mungkin. Akibatnya, jalanan justru macet.
Anastasia, seorang remaja, memeluk kucingnyi yang kelabu tatkala sang kakek diungsikan dengan kursi roda. ’’Kami akan pindah ke pedesaan. Semoga perang akan mengasihani kami di sana,’’ kata Anastasia.
TETAP MODIS, perempuan Kyiv tersebut bergegas menuju stasiun kereta bawah tanah untuk mencari perlindungan.(Foto: Daniel Leal-AFP)
Akhir bulan itu, warga Kyiv juga berupaya menyelamatkan diri di stasiun kereta bawah tanah. Jaga-jaga kalau ada serangan udara.
Ditingkahi suara sirene yang meraung-raung, Ksenya Michenka meringkuk bersama anaknyi di stasiun Maidan Square yang bersejarah. Seekor kucing mengintip di sela-sela tas mereka. Di situ, Michenka terus mengomel. ’’Rusia sudah memulai perang terhadap Ukraina,’’ katanyi.
Memang, perang yang sesungguhnya belum terjadi. Ukraina belum membalas. Belum ada serangan balik dari negeri yang dipimpin oleh Volodymyr Zelensky tersebut. Baru tadi malam ada seruan dari presiden yang mantan komedian itu. Bahwa rakyat harus bersatu, maju melawan Rusia.
Di tengah suasana kacau itu, sebuah mobil polisi berpatroli di sekitar Khreshchyatyk Avenue sambil minta warga tetap tenang. Tetapi, warga tidak bisa ditenangkan. Mereka masih bergegas meninggalkan ibu kota. Menuju ke arah barat. Menjauh dari perbatasan Rusia.
Siang kemarin, tangisan kembali pecah di Chuguiv. Seorang lelaki terisak di samping jenazah yang dibawa dengan tandu.
’’Jika mereka terus mengebom, aku akan mencari senjata, menghajar Putin sendiri, untuk membela tanah airku,’’ seru Vladimir Levichov, warga Chuguiv… (Doan Widhiandono)