Fikih Ekonomi Keindonesiaan

Rabu 16-03-2022,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

KEMAJUAN teknologi telah mengubah bentuk harta dan cara memperolehnya. Harta tak lagi berupa aset fisik seperti uang, emas, tanah, atau bangunan. Namun, juga berbentuk nonfisik. Bisa berupa franchise, paten, atau aset virtual seperti cryptocurrency dan non-fungible token (NFT). Begitu juga, harta diperoleh bukan dari transaksi seperti jual beli, sewa, atau investasi. Melainkan, dari berbagai model bisnis yang sama sekali baru.

Bagi muslim, apa pun bentuk aset dan cara mendapatkannya tidak lepas dari ketentuan syariah. Sebab, harta akan dipertanggungjawabkan dari mana diperoleh dan bagaimana penggunaannya. Jenis harta, cara memperoleh, dan cara memanfaatkannya tidak boleh bertentangan dengan syariah.

Dalam kaidah fikih, segala sesuatu itu terikat oleh hukum syara’. Semua diatur. Jika ada sesuatu yang tidak ada aturannya dalam Qur’an maupun hadis, bukan berarti tidak diatur. Aturannya sudah ada dalam Al-Qur’an. Jika tidak tersurat, berarti tersirat. Maka, ahli fikih harus menemukannya dalam suatu ijtihad –upaya menemukan hukum.

Di sinilah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menjadi otoritas fatwa di Indonesia berperan. MUI harus menemukan hukumnya, lalu mengeluarkan fatwa. Untuk hal terkait ekonomi, MUI menyerahkannya kepada  Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Sejak Fatwa No 1 Tahun 2000 hingga sekarang, DSN MUI telah mengeluarkan 141 fatwa.

Berbagai fatwa terbaru DSN MUI terkait dengan perkembangan bentuk aset dan model bisnis. Di antaranya, Fatwa No 140 tentang Islamic Securities Crowd Funding atau efek syariah berupa urun dana berbasis teknologi informasi, kliring dalam transaksi efek (138), musyarakah muntahiya bit-tamlik (133), dan sukuk wakaf (131).

Fatwa DSN MUI diputuskan pengurus. Saat ini pengurus diketuai KH Miftachul Achyar –yang juga ketua umum MUI–dan beranggota 74 ulama dan ahli. Ada ahli ilmu-ilmu Islam: ahli Al-Qur’an, lughoh, tafsir, ahli hadis, ushul fiqh, fiqh, tarikh tasyrik, maqashid syariah, dan sebagainya. Juga, ada ahli ekonomi, keuangan, hukum, perbankan, dan investasi.

Sebelum dibahas pengurus DSN MUI, masalah digodok lebih dulu di badan pengurus harian (BPH). Meski lebih banyak ahli dan praktisi ekonomi dan keuangan, di BPH juga banyak ahli fikih. Ketuanya, KH Hasanudin, doktor di bidang fikih yang juga lulusan PP Lirboyo, Kediri. Draf yang dibuat BPH itulah yang dibahas di sidang DSN untuk menjadi fatwa.

Sebagai hasil ijtihad, fatwa DSN MUI itu ”khas” Indonesia. Maka, jadilah fatwa-fatwa DSN tersebut menjadi fikih ekonomi ke-Indonesia-an. Yang bisa jadi berbeda dengan fatwa ulama di negara lain. Karena itulah, praktik ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia bisa berbeda dengan negara lain. Malaysia, misalnya.

Salah satu contohnya adalah Fatwa No 77 Tahun 2010 tentang pembelian emas secara tidak tunai. DSN MUI menyebutkan bahwa boleh membeli emas secara tunda atau kredit. Pertimbangannya, emas dan perak merupakan barang ribawi yang lebih kepada sifat tsmaniyah (sebagai alat pembayaran). Sebab, pada zaman Rasulullah, keduanya memang merupakan alat pembayaran. Yaitu, dinar (uang emas dari Yunani) dan dirham (uang perak dari Persia).

Karena emas dan perak saat ini bukan alat tukar, maka menjadi komoditas (sil’ah)  biasa. Boleh diperjualbelikan secara tidak tunai. Sementara uang, karena merupakan alat tukar, harus ditransaksikan secara tunai. Penukaran rupiah ke dolar, misalnya, harus tunai. Yang dalam konteks fikih ke-Indonesia-an, serah terima tidak lebih dari 2 x 24 jam.

Di Malaysia, emas dan perak dimaknai apa adanya tanpa sifat tsamaniyah-nya. Artinya, emas adalah barang ribawi sehingga tidak boleh diperjualbelikan  secara tidak tunai. Karena itu, jika di Indonesia bank syariah dan pegadaian syariah menjual emas dengan murabahah secara cicilan, di Malaysia tidak ada. Itulah contoh fikih ekonomi ke-Indonesia-an.

Contoh lain adalah akad bay inah dan tawarruq, yaitu beli dengan kredit dan jual kembali secara cash. Di Indonesia, dua akad itu tidak dibolehkan. Meski sebenarnya ada Fatwa No 82 tentang perdagangan komoditas yang mirip dengan tawarruq. Di Malaysia, keduanya boleh dipraktikkan. Bahkan, akad tawarruq begitu dominan dalam pembiayaan di perbankan Islam Malaysia.

Contoh lain adalah ketentuan saham syariah. Di Indonesia, emiten syariah ditoleransi memiliki pendapatan nonhalal tidak lebih dari 10 persen. Di Malaysia, ketentuannya tidak lebih dari 5 persen.

Perbedaan fikih ekonomi seperti itu adalah hal yang biasa. Dalam kaidah fikih, hukum bisa berubah karena perbedaan waktu, tempat, keadaan, dan adat. Yang tidak berbeda dan berubah adalah tujuan hukum (maqashid syariah), yaitu kemaslahatan. Bisa jadi, DSN MUI membolehkan sesuatu karena dipandang lebih maslahah. Sebaliknya, ulama di Malaysia mengharamkannya karena  haram dipandang lebih maslahah di Malaysia.

Meski hal biasa, perbedaan fatwa halal-haram itu ke depan harus diminimalkan. Harus ada kesamaan hukum dalam transaksi secara global. Kesamaan standar. Sebab, ke depan transaksi ekonomi dan keuangan Islam makin mengglobal. Lintas negara tanpa batas.  Tentu sangat menyulitkan jika standar kontraknya berbeda-beda tiap negara.

Tags :
Kategori :

Terkait